10

6.4K 840 92
                                    

"Jangan meremehkan uang koin. Kamu akan membutuhkannya saat masuk angin, ngasih pengamen atau krisis keuangan."

- Nurul -

Minggu, libur. Aku yang semalam begadang untuk menyelesaikan soal-soal untuk diberikan pada murid lesku yang akan menghadapi UTS hari Senin, bangun kesiangan. Meski begitu sholat subuh tidak ketinggalan. Setelah sholat, baru tidurku dilanjutkan.

Setelah menggeliat dan duduk cukup lama, aku keluar dari kamar, berniat untuk mandi.

"Duh, Nyonya, baru bangun? Majikannya sudah mau berangkat kerja ini." Mamak yang masih berada di garasi menyambut kedatanganku.

Aku hanya tersenyum kecut.

"Semalam begadang, Mak." Tanpa diminta, aku membuat alasan.

"Iya, anak kos mau gimana juga terserah. Yang penting bayar aja tiap bulan." Sinis, Mamak melihatku yang mengambil handuk mandi di jemuran yang satu lokasi sama garasi sepeda Mamak. Walau dibilang garasi, itu hanya daerah sempit yang bisa dipakai menaruh satu sepeda dan dua sepeda motor.

Garasi, dapur dan kamar mandi serta sumur, berada di satu lokasi, berjajar secara vertikal. Walau begitu, area nya tertutup karena terletak di antara rumahku dan rumah Nenek yang terjeda oleh keempat hal tadi.

"Tila ke mana, Mak?" Aku mengalihkan pembicaraan.

"Kerja kelompok di rumah Nawal."

"Udah bangun dia?" tanyaku heran. Biasanya, adikku itu yang paling susah dibangunkan.

"Iya, dong. Anak perempuan ya harusnya begitu, bangun pagi, beres-beres rumah, atau masak. Bukan tidur sampai bangun kesiangan kayak seseorang. Sudah kalah sama ayam tetangga saja. Rorimu aja udah kelar makan, ini tuannya malah baru bangun!"

Mamak sepertinya sedang mengalami kesulitan dalam mengontrol emosi.

"Udah makan, Mak?"

"Udah tadi. Kenapa? Iya, pembantu anda ini sudah kelar masak. Makanan sudah tersedia di meja makan. Silahkan menikmati, Nyonya."

Aku salah memberikan pertanyaan. Bukannya calm down, emosi mamak malah makin naik ke ubun-ubun. Jadinya, aku hanya bisa memberikan cengiran.

"Rambutmu udah panjang, potong!"

"Iya, nanti, Mak."

"Jangan dipotong aneh-aneh. Nggak usah diwarnai juga, paham?"

"Iya, Mak."

"Jangan dicukur juga alisnya. Gigi juga jangan dibehel, meski tidak rata, biarkan saja. Ngerti?"

Mamak banyak berpesan. Itu mengherankan, mengingat biasanya mamak jarang mengomel tentang penampilan.

"Kenapa, Mak?"

Mamak melotot. Seram. Aku sampai menelan ludah.

"Aku nggak mau kamu niru orang lain. Rambut diwarnai, alis digambar, dan gigi di pagar. Itu muka apa perumahan?"

Mamak mencibir, aku hanya kembali nyengir. Tak ada komentar. Itu hak pribadi, terlarang bagiku menghakimi. Bukan tidak peduli, hanya menghindari perselisihan tiada arti. Mereka yang melakukan pasti memiliki alasan sendiri.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Where stories live. Discover now