3

9.4K 1.1K 126
                                    

"Mau nggak pakai baju terus lari-lari, berjalan di atas tumpukan duri atau rambut diwarnai kayak pelangi, selama anak sendiri, tetangga nggak akan peduli."

- Nurul -

Hari ini, dua tanteku, Iri dan Nia, yang rumahnya berhadapan, mengajakku rujak.an. Kami tidak bertiga, tetapi bertujuh, dengan Cici, Alan, Fara dan Peny. Aku bertugas membuat sambal petis. Sedangkan Tante Iri yang mengupas dan mengiris mentimun, kedongdong, juga mangga. Tante Nia yang menyediakan minuman. Alan, penyumbang untuk semua menu rujak kami.

Setelah siap, kami duduk melingkar di teras depan rumah Tante Iri yang cukup luas. Fara, adik Cici, usianya setara dengan Ace, pacarku. Sudah bertunangan dengan Toni, cowok tegap yang berkeinginan menjadi polisi tetapi tidak lolos seleksi. Beruntung, tidak depresi dan memilih untuk berdagang roti. Sedangkan Peny, anak bungsu tante Nia. Usianya masih tujuh tahun, kelas dua SD.

"Kamu nggak keluar, Nur?" Alan, yang usianya sebenarnya lebih muda, berbicara informal padaku. Mungkin, dia mengira kami setara atau mungkin lebih tua. Memang, banyak yang mengakui, aku awet muda, sedangkan dia muka tua.

"Nggak, kenapa emang?"

"Malming, keluar gitu, ngopi."

"Nggak, ah. Lagian masih siang, mau ngopi di mana? Di rumah kan bisa, gratis pula."

"Yah, yang jomlo emang beda, sih." Alan melirikku dengan senyuman pahit yang terkesan mengejek.

Dari dulu, semenjak ladang gandum belum menjadi cokelat, aku sudah tidak suka dia. Dia sering bertingkah meremehkan, merasa paling kaya sendiri. Padahal, mengendarai mobil kantor, bukan milik sendiri, dan gaji tidak sampai tiga juta perbulan. Namun, sombongnya sudah setengah mati.

"Jangan gitulah." Tante Iri menegur. "Nurul memang tidak beruntung dalam urusan lelaki. Dulu aja, dia ketemunya sama yang bangsat macam tai."

Tante Iri sepertinya kehilangan kontrol diri, belum tahu rasanya ditegur KPI. Mantan tunanganku dulu memang sedikit tidak manusiawi, tetapi dia bertanggung jawab dengan menikahi wanita yang dihamili. Walau, wanita itu mengaku keguguran padahal baru menikah sebulan. Entah, hanya kebetulan mirip sinetron atau memang kenyataan. Aku tidak ingin berburuk sangka, sudah tidak punya urusan.

"Makanya, jangan tunangan lama-lama, nanti diambil orang. Tunangan, kok, tujuh tahun? Itu tunangan apa kredit perumahan?" Tante Iri menambahkan.

Aku hanya tersenyum getir, pahit dikatai demikian. Bukan mau tunangan sampai tujuh tahun, hanya saja kala itu, kami masih baru lulus SMA. Persamaan prinsip untuk tidak pacaran membuat kami memutuskan tunangan, berharap bisa langgeng sampai pernikahan. Walau kenyataannya dia menikah dengan orang lain.

"Jadi, kapan nikah, Ci?" Aku beralih ke Cici, anak tante Iri. Usianya lebih muda lima tahun dariku.

"Masih kuliah, Mbak. Mungkin dua atau tiga tahun lagi."

"Mau ngumpulin uang nikah dulu. Nggak bisa langsung abrakadabra jadi." Tante Iri menimpali.

"Oh." Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala, sembari menahan diri agar tidak tertawa. Walau empedu terasa geli. Lucu.

"Nyari lelaki juga yang benar, Nur. Jangan yang doyan selingkuh." Tante Nia ikut bicara.

"Tahu kamu anaknya Pak Rus, Harni? Suaminya menikah lagi, padahal Harni sedang hamil tujuh bulan. Ditinggalkan begitu saja, dikirim ke orang tua dan diceraikan. Kan kasihan."

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Onde histórias criam vida. Descubra agora