12

5.8K 802 65
                                    

"Pahitnya pare tidak ada apa-apanya dibandingkan pahitnya janji seseorang yang kalau ditagih utangnya selalu bilang besok kemudian hilang."

- Nurul -

"Nur, punya uang?" Om Aman, suami Tante Iri tiba-tiba masuk ke rumah dan menanyakan pertanyaan di luar dugaan.

"Nggak ada, Om. Lagi kering," jawabku sembari menggelengkan kepala.

"Lima puluh ribu aja nggak ada? Mau beli bensin, nih. Besok aku ganti."

"Maaf, Om. Beneran nggak ada."

Om Aman tampak mengembuskan napas panjang lalu pergi.

"Ngapain?" Aini, istri abang yang baru datang dari dapur bertanya.

"Mau pinjem uang, Mbak. Katanya nanti diganti," jawabku.

"Jangan dikasih, nggak bakalan balik."

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Aman, suami Tante Iri. Seorang lelaki berusia hampir empat puluh lima tahun. Perawakannya tinggi dan besar dengan perut buncit. Dia bekerja sebagai penimbang ikan dan hasil laut lainnya di dermaga yang letaknya sekitar 8-10 kg dari sini. Gajinya tidak diketahui. Namun, secara ajaib mampu memenuhi gaya hidup istri dan anaknya yang tinggi.

Om Aman baik hati. Sifat itu tidak bisa diingkari. Setiap membawa ikan atau hasil laut seperti cumi-cumi, udang atau lainnya, mereka selalu mengadakan makan bersama dan membagi-baginya. Namun, ada dua sifat jelek yang tidak bisa ditoleransi. Pertama, suka korupsi. Setiap kali ada yang menitip hasil laut, pasti diberi harga tinggi.

Aku pernah menitip cumi-cumi satu kg, sedang ingin makan itu. Awalnya, om Aman mengatakan harganya Rp60.000, saat membayar, dia menaikkan harganya menjadi Rp65.000. Padahal, dia mengatakan pada tante Iri kalau harga cumi sedang turun, Rp40.000. Walau begitu aku tidak protes, anggap saja uang bensin.

Sikap kedua adalah suka menipu. Mamak pernah meminta tolong om Aman untuk mengurus perpanjangan sepeda motorku, berikut BPKB-nya yang akan dibalik nama. Sampai enam bulan berlalu, tidak selesai. Uang lenyap, surat-surat tidak ada. Hal ini diketahui setelah aku nyaris ditilang polisi. Polisi baik hati itu mengatakan bahwa surat-surat yang aku punya palsu. Buatan sendiri.

Semua keluargaku marah, tetapi tak mampu berbuat apa-apa. Om Aman adalah suami tante Iri, saudara kandung mamak. Tanteku itu pasti akan marah besar jika tahu suaminya seperti itu. Bisa saja kasus ini dilanjutkan ke kepolisian, tetapi mamak tak setega itu. Walau kami sering direndahkan karena rumah paling jelek, tetapi untuk hati, kami tidak sebusuk itu.

Mamak bukan satu-satunya korban om Aman. Ada banyak orang datang mencari, ditipu juga. Namun, tante Iri tak peduli, hanya mengunci pintu setiap kali ada yang mencari. Oleh sebab itu, saudara kandungnya yang lain seperti mamak, Om Bud dan Om Ipul berdiskusi dan membantu. Walau mamak tidak kaya, dia bersedia menyumbangkan uang tabungannya untuk membantu membayar hutang om Aman.

Pada akhirnya masalah itu terselesaikan dengan kekeluargaan. Hutang om Aman lunas tanpa perlu mengeluarkan sepeser pun dari uangnya sendiri. Aku sempat tak terima, apalagi tante Iri tak pernah berterima kasih atas bantuan mamak, bahkan menganggap mamak tak pernah membantunya. Akan tetapi mamak menguatkan hatiku. Wanita berhati mulia itu bilang, setiap perbuatan baik yang berlandaskan keikhlasan, tidak pernah meminta pengakuan atau balasan.

Mamakku enam bersaudara. Selain om Ipul dan Umik Ijah, rumahnya berdekatan dengan rumah mamak semua. Sengaja membangun rumah berdekatan agar jika saling membutuhkan bisa saling mengulurkan tangan. Begitu kata alm. Kakek, meski kenyataannya tidak demikian. Selama kamu kaya, kami mendekat. Jika kamu miskin, kami amit-amit. Kira-kira begitu prinsip saudara mamak kebanyakan.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Where stories live. Discover now