13

5.7K 743 71
                                    

"Jangan marah kalau foto berbeda dengan fakta. Namanya manusia, tidak mungkin mau difoto dalam keadaan buruk rupa, jerawat di mana-mana apalagi mirip orang gila."

- Nurul -

Hari ini aku mengajar olahraga untuk kelas B, yang usianya sekitar 4-5 tahun. Sudah cukup besar sehingga tidak sering menanyakan ibunya. Kalau mau pipis atau pup, juga sudah bisa bilang sehingga bisa diantarkan ke kamar mandi. Walau kadar menangis tanpa atau dengan alasan masih cukup tinggi.

Awalnya aku cukup kesulitan. Anak-anak kecil itu tidak semuanya mudah diatur. Anak perempuan, mungkin lebih mudah mendengarkan. Namun mereka sering marah jika kurang diperhatikan. Sedangkan anak lelaki jauh lebih aktif, tetapi tidak begitu ingin diawasi.

Setiap kali senam, mereka meniru sebisa yang mereka bisa. Tak pernah ingin disalahkan. Jika ditegur, mereka akan mulai menangis dan mengadu pada orang tuanya. Saat lomba lari, banyak dari mereka selalu ingin menang. Meski kalah sekalipun, selalu ingin dipuji dan diberi perlakuan yang sama dengan pemenang.

Mengajar anak-anak PAUD, membutuhkan kesabaran. Karakter setiap anak berbeda, sehingga harus memiliki kemampuan untuk membaca situasi. Misal, saat mereka ingin pergi ke kamar mandi tetapi malu untuk mengatakannya. Saat mereka takut karena belum bisa membawa atau tidak mengerti apa yang gurunya ajari.

Guru harus bisa menjadi sandaran yang bisa diandalkan untuk para anak didiknya. Walau begitu, tak semuanya sulit. Terkadang, anak-anak kecil itu bisa menjadi hiburan terampuh saat down dan membutuhkan energi untuk bangkit kembali. Keceriaan, tawa dan kegembiraan mereka menjadi moment tidak terlupakan yang mungkin hanya akan terjadi satu kali.

"Sudah mau pulang, Bu?"

Bu Jar, rekan kerjaku, yang mengajar anak-anak untuk belajar dan mengaji bertanya saat aku hendak pulang. Tugasku sudah selesai, anak-anak saat ini pun sedang jam istirahat.

"Iya, Bu."

"Kok buru-buru, sih? Duduk dululah, ngobrol, sama Bu Tia juga."

"Gerah, Bu, pengen mandi."

"Yaelah, sombongnya, duduk aja dulu." Bu Tia, yang usianya setara dengan Bu Har, sekitar tiga puluh lima tahunan ikut bergabung.

Aku hanya tersenyum kecil. "Kapan-kapan sajalah, Bu. Sudah basah sama keringat ini."

"Ngajar olahraga anak paud nggak butuh banyak energi kali, Bu. Kok bisa keringat banyak begitu? Habis cangkul kebun ya? Haha." Bu Tia tertawa, merasa lucu. Sedang aku hanya memasang wajah biasa.

"Becanda, nggak lucu ya?"

"Lucu, kok." Bu Har menjawab. "Ya kan?" Wanita berpostur besar dan lebar itu menoleh ke arahku.

Aku terpaksa tersenyum, menghargai dua orang guru yang usianya lebih tua meski status kami setara.

"Btw, baju olahraga bu Nurul itu-itu saja? Nggak ada yang lain?"

"Iya, nih. Sepatunya itu mulu. Beli yang baru, dong, Bu. Gajinya ditabung dikit-dikit." Bu Tia menimpali.

Mohon maaf, anda kalau beli barang tiga kali pakai lalu buang atau gimana? Namanya juga cuci, kering, pakai. Memangnya dia pikir sabun cuci untuk membuat Boba?

"Bu Nurul! Hei, kok bengong?" Bu Har melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.

"Ah, maaf. Masih bagus, kok, Bu," kilahku. "Saya permisi, Bu. Mari."

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant