22

4.5K 618 47
                                    

"Alasan mengapa perempuan lebih suka Sejarah daripada Matematika adalah karena mereka lebih suka kilas balik daripada menyederhanakan sesuatu."

- Nurul -

Pagi ini, aku merasa tubuhku tidak nyaman, meriang, masuk angin sungguhan, bukan merindukan kasih sayang. Mamak yang melihatku mual-mual segera membuatkan teh hangat dan memberiku tolak angin. Aku yang sudah dua kali muntah hanya bisa terkapar lemas di kasur.

"Masih nggak enak perutnya, Nur?" tanya mamak khawatir. Sepertinya mamak sudah mau berangkat bekerja, terlihat dari pakaiannya yang sudah rapi dan siap pergi.

Aku hanya mengangguk lemah, tak berdaya untuk sekadar menjawab iya.

Mamak mendekat, memberikan pijatan lembut di pelipis dan keningku.

"Jangan tidur pakai kipas angin dulu. Nanti pulang kerja, kalau belum baikan, mamak kerok," katanya membuatku bergidik ngeri.

"Nggak usah, Mak." Pelan, aku menyahut.

"Makanya cepat sembuh. Mamak berangkat kerja dulu," ujar mamak lalu berdiri dan pergi.

Kerok adalah jurus terampuh yang sering mamak pakai jika ada anggota keluarga kami yang masuk angin. Aku tak suka jurus itu, sakit bercampur geli. Sudah begitu, seluruh tubuh akan membentuk garis merah panjang, sudah mirip motif zebra saja. Ogah.

"Ciyee yang sakit," goda Tila sambil cengengesan.

Dasar adik durhaka. Kakak sakit malah diciyee..

"Makanya, Mbak, jangan suka begadang. Sakit kan? Udah tahu antibodi lemah, sok nggak tidur sampai pagi." Tila mengomel pagi-pagi.

Aku tak menyahut, malas. Memang, semalam aku begadang untuk menyelesaikan tugas mengedit naskah seorang penulis. Tulisannya berantakan, dari segi penulisan maupun isi. Aku sudah berbaik hati meminta penulisnya untuk mengedit atau merombak ceritanya, tetapi si penulis tetap ngotot. Ia beralasan kalau naskahnya sudah sempurna, padahal tidak ada yang sempurna di dunia ini. Terpaksa, aku memperbaiki penulisan yang sangat parah itu. Demi mengejar deadline dan uang lembur.

Jam dua dini hari, tugas mengedit selesai dan berhasil dikirim. Lega tugas selesai, aku berniat untuk tidur. Namun, kepalaku mendadak terasa pusing dan perut seperti dipilin dan diremas kuat, sudah setara dengan sakit ketika datang bulan. Dua jam berikutnya, aku berhasil muntah setelah tersiksa karena rasa mual yang tak kunjung hilang.

"Mbak, aku mau berangkat." Tila mengulurkan tangan, hendak salaman.

Selesai salaman, Tila masih berdiri, tak pergi-pergi. Karena otakku lumayan pintar, aku cepat memahami, maksud tersembunyi dari perilakunya ini.

"Ada uang lima ribu di bawah baju olahraga," kataku. "Jangan bilang mamak aku sembunyikan di sana. Mau beli hadiah buat Ace, bulan depan dia ulang tahun."

Tila tersenyum lebar, senang. Dia segera mengambil uang yang aku maksud di lemari baju.

"Oh ya, Til, tolong ambilin das.."

"Thanks," katanya lalu pergi, mengabaikan kata-kata dariku yang bahkan belum selesai diucapkan. Adik kampret.

Aku hanya menghela napas panjang, tidak ingin marah-marah. Apalagi dalam keadaan sakit begini. Lelah, aku memutuskan untuk tidur saja.

Entah pukul berapa, aku bangun. Rumah dalam keadaan sepi. Mamak dan abang sudah berangkat untuk bekerja, sedangkan Tila bersekolah. Alfan pasti sedang sekolah. Dia sudah SD kelas dua. Sedangkan Aini dan Angkasa, kalau tidak tidur di kamarnya, pasti sedang di rumah tante Iri atau Nia. Mereka berdua memang suka nongkrong di sana.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Where stories live. Discover now