19

4.7K 628 55
                                    

"Jangan suka merendahkan orang lain. Kalau tiba-tiba butuh, malunya nggak ketulungan."

- Nurul -

Aristoteles, dalam teori Zoon Politicon mengatakan, bahwa manusia adalah makhluk sosial. Oleh sebab itu, manusia saling membutuhkan satu sama lain. Wajar, jika banyak orang kemudian memilih berikatan, membangun keluarga atau berkoloni serta membangun populasi.

Aku setuju dengan teori itu. Tidak dapat dipungkiri memang, manusia tidak bisa hidup sendiri. Contoh, setiap hari kita makan nasi. Nasi dibuat dari beras, beras diproduksi oleh petani, disalurkan oleh distributor, kemudian dibeli, dimasak dan dikonsumsi. Semua tiga komponen itu adalah manusia yang berbeda. Itu artinya, kita membutuhkan orang lain.

Memang, kita bisa saja menanam padi, memproduksinya menjadi beras dan memasaknya sampai menjadi nasi. Namun, tak banyak orang memiliki tanah dan kemampuan untuk menggarap sawah. Semua memiliki porsi dan peranan masing-masing. Mungkin itu sebabnya, manusia dibagi menjadi beberapa kelas dalam berbagai aspek.

Seperti halnya manusia, plantae atau animal yang diklasifikasikan menjadi beberapa macam, tetanggaku juga demikian. Ada tetangga yang baik hati sehingga bisa diminta tolong, suka ngerumpi hingga tak merasa sepi, atau sangat menyebalkan sehingga ingin rasanya ditenggelamkan ke rawa-rawa atau gurun Sahara. Seperti yang aku rasakan saat ini.

Berisik. Aku yang sedang tidur menjadi terbangun, terganggu. Padahal, aku baru bisa tidur setelah sholat subuh. Efek begadang karena dikejar deadline.

Pagi-pagi, Taji, menantu tante Fura, suami dari Rina, yang bahkan tak diketahui kerjanya apa, memainkan gas sepeda motornya tanpa segan sama sekali. Dia sudah mirip anak kecil yang kegirangan karena mendapat mainan baru. Jika dia atau tante Fura membuka bengkel, tentu aku tidak akan mengeluh. Masalahnya, tidak. Mereka hanya warga biasa.

Aku mencoba menutup telingaku dengan bantal, namun gagal. Telingaku masih mendengar kebisingan yang dibuat Taji. Kesal, aku keluar kamar.

"Berisik amat, dah." Tila, yang sedang sarapan, ikut berkomentar.

Aku tak merespon, hanya duduk di ruang makan sembari menuangkan kopi dari teko ke cangkir.

"Matanya merah banget, Mbak. Belum tidur?"

Aku hanya mengangguk.

"Tidur aja, merah begitu matanya. Nanti sakit, lho." Tila perhatian.

"Gimana bisa tidur? Ada konser," ucapku sebal.

"Ah, iya, berisik banget, emang. Tadi udah ditegur mamak, tapi tetap aja nggak digubris. Katanya lagi nyobain sepeda motor yang baru dimodifikasi," jelas Tila.

"Modifikasi? Udah kayak sepeda motor balap aja, emang si Taji pembalap?"

Tila mengedikkan bahu.

"Bukan, penjaga counter Hp," sahut Mamak yang sedang menonton televisi.

"Penjaga counter kok memodifikasi sepeda motor? Nggak ada kerjaan apa?" cibirku.

"Entah, biarin aja."

Aku hanya menghela napas panjang. Tak ingin membahas sesuatu yang tidak ada gunanya. Mamak saja tidak didengarkan, apalagi aku.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Where stories live. Discover now