27

5K 699 93
                                    

"Terkadang kita lupa, menjadi tua bukan berarti menjadi payah, tetapi berkah."

- Nurul -

Aku tersenyum sembari menatap beberapa kucing liar yang sedang memakan makanan yang diberikan. Mereka tampak lahap mengunyah makanan kucing yang dicampur nasi dan ikan laut yang sudah digoreng. Aku mencampur ketiga bahan itu menjadi satu agar para kucing bisa memakan tanpa memilih. Mereka kucing kampung, sering kali menolak jika hanya diberi makanan kucing atau nasi saja.

Lima ekor kucing kampung yang datang, mereka bukan punyaku. Aku hanya memiliki Rori. Awalnya hanya satu-dua, lama-kelamaan menjadi lima. Rori tidak keberatan. Kucing jantan milikku itu tidak cemburu. Mungkin, dia sudah merasa menjadi Raja sehingga tidak perlu khawatir dicampakkan meskipun aku memberi makan kucing liar yang lain.

"Hei, jangan berantem!" Aku menegur dua ekor kucing liar yang terlihat akan bentrok. Ekor mereka menegang ke atas dan mengeluarkan suara erangan yang tidak menyenangkan.

"Ini buatmu, itu buatmu!" Aku memberikan tempat makan yang berbeda untuk kedua kucing itu untuk menghindari konflik atau perang saudara.

Kedua kucing itu menurut. Mereka akur kembali, sibuk dengan makanan masing-masing.

"Nah, gitu. Bagus," pujiku senang.

"Gila, Nur? Kucing kok diajak bicara?" Tante Iri yang sedang menyiram tanaman di depan rumahnya menyindir.

Aku yang sedang memberi makan kucing di depan rumah hanya tersenyum, menganggap apa yang dikatakan olehnya hanya sebatas gurauan. Walau kata-katanya jelas mengandung sindiran.

"Daripada ngasih makan kucing, kenapa nggak beramal ke anak yatim saja, sih? Atau fakir miskin gitu, lho. Beramal kok pelit amat." Tante Iri kembali memberikan pendapat.

Aku juga anak yatim, Te. Ayahku sudah meninggal dunia, ngapain beramal ke diri sendiri? Aku tersenyum sambil mengucapkan kata itu dalam hati. Bukan drama di TV, sehingga tidak akan didengar tante Iri.

"Senyum mulu, nggak bisa balas ya? Emang gila atau gimana?" Tante Iri mulai melakukan serangan yang damage-nya super sakit.

Aku tak menjawab, lebih memilih mengelus kucing daripada berdebat panjang. Tante iri pun tak bersuara, mungkin kesal karena diabaikan.

"Nur, eek kucingmu ini?" Tante Nia keluar, menunjuk ke depan pot bunganya di mana sebuah tai kucing nongkrong di sana tanpa tahu malu.

"Nggak tahu, Te. Rori, sih, dari kemarin di rumah, aku kurung," sahutku.

"Trus eek kucing siapa ini? Manis dan Manggis punyaku selalu di atas, nggak aku keluarin," katanya heran.

Aku hanya mengedikkan bahu, benar-benar tidak tahu.

"Nur bohong kali, tuh. Kalau nggak mau bersihin, nggak usah sok pelihara kucing. Ngasih makan kucing liar lagi. Keluargamu aja masih sudah, sok beramal sholeh. Ngaca, dong!" Tante Iri kumat lagi.

"Rori aku kakinya pincang, kayaknya ada yang mukul kakinya, Te. Aku kurung semalaman, jadi nggak mungkin keluar kandang. Eek dan pipis pun di kandang dan sudah aku bersihkan. Saya emang kurang mampu, Te. Tapi membeli makanan kucing, saya masih mampu. Dan nggak minta orang tua pula."

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Where stories live. Discover now