6

7.1K 936 88
                                    

"Berbuat baik pada tetangga adalah sikap yang dianjurkan. Namun, bila tetangganya keterlaluan, anggap saja dia sebagai gelembung Spongebob, transparan."

- Nurul -

"Nur! Nur~."

Pagi-pagi, tante Iri sudah gempar, teriak-teriak membuatku yang masih nyungsep di kasur, terpaksa dibangunkan paksa.

"Ada apa, sih?" tanyaku pada Tila, yang bertugas membangunkanku.

"Nggak tahu," sahutnya. "Keluar sana."

Aku beranjak bangun meski kepala sedikit pusing. Mencoba berjalan sendiri meski kaki seperti belum menapaki bumi. Terhuyung, aku menemui tante Iri.

"Tuh, lihat!" Ia menunjuk ke teras rumah nenek. "Rori-mu eek lagi. Kalau nggak bisa jaga kucing, nggak usah ngerawat!"

Judes, kesan suara tante Iri membuatku yang belum sepenuhnya sadar menjadi malas. Tak ingin terus mendapat ocehan, aku bergegas pergi, mengambil kantong plastik dan sobekan kardus.

Dengan sedikit menahan napas, kotoran kucing itu aku bersihkan lalu mengepel lantainya biar baunya ilang. Kelar, aku pamitan, mau tidur lagi.

"Udah bersih?"

"Udah, Tan."

Aku mengerutkan hidung, tercium bau-bau yang tidak sedap. Segera, mataku dan tante Iri mengarah ke si putih, kucing tante Nia, yang sedang pup di tempat yang sama dengan yang baru saja aku bersihkan.

Tante Iri cengengesan, "Oh ternyata Putih. Hehe."

Aku memasang wajah datar lalu berbalik pergi. Susah, kalau harus balik marah. Nanti urusannya panjang kalau dia balik merajuk dan ngomel-ngomel. Lagian, bagaimana bisa dia menuduh kucingku yang tak bersalah sebagai tersangka? Bukti saja, dia tidak punya. Menyebalkan tingkat dewa.

"Udah, Mbak?" tanya Tila begitu aku kembali. Dia sedang sarapan sebelum berangkat sekolah.

"Udah."

"Disuruh ngapain?"

"Bersihin tai."

"Week. Anjay. Aku lagi makan, Mbak." Tila melotot, protes.

"Trus kenapa?"

"Jijik."

"Emang tainya di piringmu? Nggak kan? Lagian udah aku buang ke tempat sampah."

Tila tidak menjawab, hanya berusaha menelan nasi yang berada di mulutnya saat ini. Ekspresinya mirip orang yang sedang mual, mau muntah.

Dia kenapa, sih?

Aku mengambil piring dan nasi lalu duduk. Mau makan juga, sudah telanjur bangun, pasti susah tidur lagi.

"Nggak ngajar?"

"Nggak."

"Enak amat jadi guru Paud, cuma masuk tiga hari dalam seminggu."

"Aku guru olahraga, kampret. Kelasnya cuma tiga."

"Kamu yang mager begini jadi guru olahraga?" Tila terbeliak, ekspresinya menyiratkan ketidakpercayaan dan rasa meremehkan.

"Jangan durhaka jadi adik," sindirku. "Ngajar olahraga anak PAUD, nggak seribet anak SMP atau SMA."

Tila mencibir lalu makan lagi.

Aku tersedak ketika mendengar suara dangdutan dari belakang rumahku. Langsung keras tanpa peringatan sehingga membuat jantungku yang belum siap langsung kelabakan.

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz