2

10.4K 1.2K 156
                                    

"Orang tua sering kali lupa.
Segala yang terbaik bagi anak, bukan dari pemikiran mereka saja.
Anak berhak menentukan  pilihannya sendiri.
Bukan mengiyakan keinginan orang tua yang menuntut dipenuhi."

- Nurul -

"Nggak mau daftar CPNS?"

Mamak yang sedang melipat baju, masih sempat mengajukan pertanyaan untukku yang sedang asyik tiduran di sofa sambil main gawai.

"Nggak, Mak," jawabku sambil terus menatap instagram, sedang asyik melihat sinetron alay ala Cina.

"Mamak pengen, deh, kamu jadi PNS," kata Mamak sembari menghela napas berat.

"Nurul cuma lulusan SMA, Mak."

"Ya, nggak apa-apa. Masih bisa daftar, lho. Mamak denger dari Bu Bay, yang rumahnya di depan, lulusan SMA masih punya kesempatan." Mamak mulai ceramah, mengulang kembali informasi yang didapat dari Bu Bay yang anaknya tiga, perempuan semua dan dua di antaranya menjadi guru SD.

"Nurul nggak mau, Mak."

"Kenapa? PNS itu keuangannya stabil, lho. Emang kamu mau gini terus?" Mamak melotot, menghentikan aktivitasnya hanya sekadar untuk membuatku takut.

Aku bangun dari posisi rebahan, duduk, meletakkan gawai dan menatap mamak dengan memelas.

"Nurul lapar, Mak. Makan dulu, ya."

Aku segera ke dapur, kabur. Enggan berdebat dengan mamak. Memang, perempuan katanya selalu benar, tetapi hanya berlaku bagi emak-emak. Wanita lemah sepertiku, yang berstatus sebagai anak, tidak boleh melawan orang tua. Durhaka. Nanti, kalau Mamak marah, bisa-bisa aku dikutuknya menjadi batu atau benalu.

PNS, bukan Perempuan Nyari Suami, melainkan Pegawai Negeri Sipil, adalah pekerjaan yang mamak tentukan dari dulu, sebelum aku menemukan cita-citaku sendiri, atau mungkin sebelum lahir, sebagai pekerjaan paling cocok dan harus dimiliki di hidup yang cuma sekali ini. Bagi Mamak, tidak ada pekerjaan lain yang lebih pantas dibanding PNS. Padahal, aku sama sekali tidak berminat. Repot.

"Kok makan nggak selera begitu? Nggak enak? Mau beli sate?" Yusuf, kakak lelakiku menawarkan.

Aku segera mengangguk mengiyakan. Tawaran menggiurkan tidak boleh disia-siakan.

"Tuh, kalau mau makan enak, kerja PNS." Mamak datang lagi membuat selera makan yang sempat kembali menjadi pergi.

Senyuman yang terkembang, mendadak hilang.

"Jangan gitu, Mak. Nurul kan juga kerja," tegur Bang Yusuf sembari memberiku uang dua puluh ribu rupiah. "Beli sendiri."

Aku menerima uang yang disodorkan Bang Yusuf, mengucapkan terima kasih sembari menatap Mamak yang tampak kecewa.

"Orang nggak semuanya harus jadi PNS," nasehat Bang Yusuf. Kakakku itu memang the best.

"Kamu ini, belain terus adikmu itu. Mau kerja apa nanti? Dia itu makin hari makin tua." Mamak tetap tidak mau menyerah.

"Pekerjaan nggak cuma PNS, Mak. Aku juga bukan PNS, tapi bisa menafkahi istri dan dua anakku. Ya kan? Rezeki itu sudah diatur, biar sajalah mau gimana Nurul. Yang penting dia senang. Toh masih bisa bantu mamak kan?"

Bang Yusuf memberikan nasehat panjang-lebar pada Mamak membuat ibu kandungku itu hanya mengerucutkan bibir, tidak berani melawan. Semenjak ayah meninggal dunia, Bang Yusuf memang panutan kami, sudah setara sama status ayah. Terlebih, dia adalah wali utama kalau suatu saat aku akan menikah.

Tidak ingin terus mengikuti perdebatan yang sepertinya sudah jelas siapa pemenangnya, aku segera pergi, membeli sate. Setelahnya, makan bersama adikku yang masih SMA kelas tiga, Tila.

"Mak, mau sate?" tawarku.

"Kagak," sahut Mamak jutek.

Aku tidak melawan. Sate ayamku mendadak terasa tidak enak. Waktu aku pamit untuk mengajar les pun, Mamak terlihat marah. Sengaja, aku diamkan dulu. Niatnya mau minta maaf waktu pagi. Namun, mamak sudah pergi pagi-pagi. Tidak memberikan aku kesempatan untuk bicara sama sekali.

Mamak kalau marah, memang seram sekali. Sudah lebih menakutkan dari tsunami atau gempa bumi. Itu masih di dunia, belum di akhirat nanti.

Maafin aku, Mak.

"Yanti, anak Bu Ramli, kalau pagi dan sore, kelihatan lagi nyapu dan nyiram tanaman. Kalau ketemu, selalu tersenyum dan menyapa, adem liatnya. Ini lihat anak sendiri, cuma rebahan, tiduran atau main HP. Malas-malasan."

Mamak yang baru pulang kerja seketika melakukan ceramah kerohanian secara gratis tanpa pemberitahuan. Mamak kerja di toko milik orang Cina. Masuk setiap hari dari jam tujuh pagi sampai lima sore.

"Katanya, punya anak perempuan sangat menyenangkan. Bisa ngasih bantuan dan bikin ibunya nggak pernah kesusahan. Giliran anak sendiri, perempuan, sudah dewasa, masih aja kayak anak TK. Nggak mandiri. Mamaknya datang kerja, bukannya disuguhi teh hangat sama kue, atau dipijiti, ini malah disuguhi rumah berantakan, minuman belum dibuatkan dan kerjanya cuma tiduran."

Aku yang sedang rebahan, langsung bangun dan meletakkan gawai. Aku pergi ke dapur, mencuri piring dan memasak air untuk membuatkan mamak teh dan kopi. Sengaja membuat dua, supaya ada pilihan. Jaga-jaga kalau mamak sedang mau minum kopi, bukan teh seperti biasanya.

"Giliran dimarahi langsung bergerak. Itu tangan dan kaki memang minta diperintah dulu baru mau bantuin Mamak?" Mamak sepertinya sakit hati gara-gara tadi malam kalah berdebat dengan kakakku. Itu sebabnya, sore ini, setelah pulang kerja dan abang tidak ada, mamak membalas dendamnya.

"Mak," panggilku sambil mengaduk kopi.

"Apa?"

"Tadi Nurul gajian, mamak butuh sesuatu?" tanyaku.

Mamak diam sebentar.

"Gajian yang mana?" Rada jutek, Mamak bertanya.

"Yang les, lumayan, gajian dua, jadi dapat Rp300.000."

Senyuman Mamak terbit, sudah mirip matahari di waktu siang hari. Menyilaukan.

"Gas elpiji mamak habis, dua-duanya. Stok gula dan kopi juga mau habis. Beras menipis."

"Oke. Ini, Mak."

Aku menyerahkan semua uang gajian yang d dapat tadi malam setelah mengajar ke mamak. Mamak menerima dengan senyuman puas.

"Mak, kopi dan tehnya taruh mana?"

"Biarin aja. Nanti mamak yang bawa. Kamu siap-siap aja, ntar lagi ngajar kan?"

Aku mengangguk lalu masuk ke kamar. Sempat aku melihat wajah mamak, berbinar cerah seolah baru dapat harta karun.

Ternyata benar apa yang adikku bilang. "Mbak, kalau mamak cemberut dan suka tiba-tiba marah-marah, alasannya cuma dua, sedang lapar atau nggak punya uang."

***
TBC

BACOT TETANGGA [ TERBIT ]Where stories live. Discover now