Desire; Surrender

3.1K 525 57
                                    

“If you want a happy ending, that depends, of course, on where you stop your story

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“If you want a happy ending, that depends, of course, on where you stop your story.”

—Orson Welles

*

"Jadi, setelah memulai drama sakit perut. Sekarang apa yang akan kau lakukan di sini?" pemuda Kim yang menjabat sebagai dokter pribadi keluarga Jeon itu menatap penuh tanya pada Jungkook. Kemungkinan kecil bahwa pemuda ini hanya berniat mampir saja. Pasti ada hal lain yang mendesak.

Pukul setengah dua dini hari.

Kalau bukan karena sudah di anggap sebagai keluarga sendiri, Seokjin mungkin akan mencekik leher Jungkook sampai pria itu tidak bisa bernapas.

Jungkook sendiri tak semerta menjawab. Dia lebih memilih memutar-mutarkan ponselnya dengan tatapan kosong, parau, ke arah meja kerja Jin. Harusnya ia mencoba lebih banyak lagi. Harusnya ia abaikan saja presensi sang ibu yang terus memberi tuntutan-tuntutan di luar kepala. Tapi faktanya, di sinilah Jungkook berakhir.

Rasanya seperti tengah menggenggam harapan yang di bawa oleh semilir angin. Namun yang tertangkap oleh genggaman ringkihnya hanyalah sepintas angan semu serta kepingan ilusi semata.

Jungkook masih dapat dengan jelas mengingat memori redup di dalam isi kepalanya yang perlahan, mulai hancur berantakan. Apa alasannya menetap? Dan juga, apa alasannya pergi? Mana realita? Dan mana yang hanya sekadar ilusi? Mendadak kenangan itu kembali tersorot dalam rekaman pandangannya yang membisu; tentang sebuah canda tawa atas hal konyol sederhana, permain lompat tali yang berujung tangis sebab terjatuh, kumpulan nota kecil berwarna biru muda berisi pesan manis penuh kasih sayang, atau barangkali sumpah sehidup semati di hadapan pendeta.

Tetapi, hei, coba kita mengesampingkan perasaan sedih dan kembali menghadap realita bahwaㅡterlalu lama memendam rasa sakit itu juga tidak baik, 'kan? Kenangan itu sifatnya mematikan, serius.

Kemudian pada memori hampa selanjutnya, menelan perasaan nyeri sebentar, kedua irisnya menatap Jin dengan tatapan sayu. Jungkook lantas tersenyum getir. Tenggorokannya seperti di garuk oleh sebuah besi berkarat. "Kau tahu aku akan menyudahi ini, 'kan?" Mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja, Jungkook menahan napas ketika sebuah lesatan memori kecil mengerikan yang berubah menjadi duka besar beberapa jam lalu kembali mengepres isi otaknya. Bagaimana dengan hati-hati Jungkook menemani lelapnya si gadis, memperhatikan wajahnya yang damai, namun mendadak mendapat serangan yang menusuk dada tatkala dalam gurat sedih sang istri, bibirnya mengeluarkan bisikan lirih serta menyebutkan nama sang kakak nyaris tanpa permisi.

Apa-apaan?!

Jungwoo lagi.

ShatterableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang