2. Berhak Bahagia?

5.8K 572 23
                                    

Kamu belum mencoba bagaimana mudahnya, kamu menyimpulkan sesuatu? Orang bisa gagal bukan berarti kita juga gagal. Coba tunjukkin bahwa kamu itu pantes ngerasain bahagia seperti orang lain.

-Elsana Meilia Zola-

*****

Semalaman jujur saja aku tidak bisa tidur. Bagaimana bisa tidur dengan pernyataan Abi dan airmata Umi yang tertahan.

"Jika nanti aku menikah kalau gagal gimana?"

"Kalau seperti dimasa lalu bagaimana?"

"Kalau ada yang pergi bagaimana?"

Pernyataan itu yang memenuhi pikiranku.

Aku menghela nafas, merapikan hijab hitam dikaca kamar, sedikit memakai pelembab dan bedak agar kantung mataku tidak terlalu terlihat. Lipgloss merah sedikit ku oles biar tidak terlihat pucat.

"Kak Nai! Ayo makan. Mufid tunggu disini sampai kakak keluar."

Adek laki-lakiku yang persis seperti Ayahku. Justru aku tidak pantas disebut kakak dialah yang pemikirannya lebih dewasa dari aku.

"Iya, Mufid,"

Aku keluar kamar, Mufid sedang menungguku. Aku tersenyum sembari menepuk pipi kanan kiri dengan kedua tanganku. "Fid, gimana? Kelihatan nggak?"

"Nggak kok, mantep kelihatan segar bugar." ucapnya dengan mengacungkan jempol.

Seperti biasa hanya dia yang tau bahwa terkadang malamku harus dipenuhi tangisan dan setiap paginya aku harus tanya pada dia apakah sudah terlihat seperti tidak menangis. Karena Umi dan Abi pasti khawatir.

Denting sendok dan garpu terdengar saat sarapan. Setelah makan selesai dan mencuci piring. Aku pamit untuk keruangan kerja dimana ada 3000 buku yang harus aku cicil dan ditanda tangani.

Ruang kerja ini dibagi dua ada skat kayu kecil. Mesin ketik, laptop dan lainnya itu peralatanku sedangkan di sebrang ada berkas dan laptop Abi. Peluh keringat menetes merasakan lelah.

"Assalamualaikum Nai, Abi boleh masuk?"

"Waalaikumussalam Abi, silahkan.." sahutku dengan tangan yang masih sibuk menanda tangani buku didepan meja.

Abi datang lalu duduk disofa pojok ruangan. "Kayaknya sibuk banget kamu, Nak." Abi berdiri disampingku.

"Iya, Bi, tinggal setengah lagi kok."

"Abi nanti beli buku yang ada tanda tangan kamu yaa? Sisain buat, Abi."

Dahiku mengerut menatap Abi heran. "Kenapa Abi beli? Jangan. Nai kasih aja yaaa?"

"Gratis nih?"

"Iyaaa dongg!"

Abi tersenyum. "Terimakasih, ya."

"Iya sama-sama. Bi,"

Langkah Abi mendekat pada ku berdiri didepan meja yang sedang aku gunakan untuk menanda tangani buku. "Nai, kamu mau ketemu calon suamimu minggu besok kan?" tanya Abi lembut.

Aku terus diam. Apa yang harus aku lakukan untuk saat ini? Hanya menunduk dengan tangan yang bergerak pelan.

"Nai? Abi sama Umi nggak maksa kok."

"Kenapa secepat itu, Bi?" tanyaku menatap Abi.

"Umur kamu udah 21 Tahun, Nai. Abi tau kamu punya trauma, tapi Nai nggak semua pengalaman orang lain itu terjadi sama kita. Lagian Abi juga ingin menjagamu lewat pernikahan, apalagi kamu seorang yang sudah punya hafalan Al - Quran jaga hafalanmu dengan menikah nantinya suamimu adalah orang yang baik agamanya bisa membimbingmu ke Syurga."

SENDU (On Going)Where stories live. Discover now