16. Harapan

3.6K 419 59
                                    

Kenapa harus berharap pada manusia? Yang dia saja tidak bisa percaya dengan dirinya sendiri.
—Zein Axsa Aditama.

"Meskipun Naila ngerepotin tapi kak Zein juga mau aja direpotin

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Meskipun Naila ngerepotin tapi kak Zein juga mau aja direpotin.." Naila terkekeh hambar menatap Zein sekilas.

"Gue tanggungjawab karena gue ajak lo makan sushi, makanan pilihan gue."

Naila menganggukan kepala, memandang jalanan lurus didepannya. "Ayah Naila, dulu bilang kalau mau nikah harus sama orang yang bertanggungjawab," Naila tersenyum. "Berarti Naila udah ngelakuin apa yang Ayah bilang."

"Bukan gue orangnya. Gue cuma mau tanggungjawab soal ini doang. Lo salah orang, jangan terlalu percaya diri, kita nikah bukan karena cinta pada umumnya, cuma perjodohan dan hanya satu tahun pernikahan. Jangan banyak berharap, gue nggak bisa kasih lebih!" Zein mendengus remeh.

"Bukan Naila yang salah orang, kak. Naila bersyukur nikah sama kakak, setiap kejadian yang Allah takdirkan pasti ada hikmahnya. Kakak paham agama, setidaknya dari pernikahan ini Naila bisa belajar agama dari kakak, itupun kalau boleh. Tapi kakak yang salah orang kan, kak? Naila bukan seseorang yang kakak harapkan."

“Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.” (Ali bin Abi Thalib)

Suasana mendadak canggung akibat pembahasan yang tidak sengaja terlontar dari kedua mulut mereka, mengakibatkan mereka berpikir dengan pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya ponsel Naila berdering memecahkan keheningan.

Naila menggeser tombol hijau untuk mengangkat video call yang masuk. "Assalamualaikum, Mama Wiyah!"

Zein sontak menoleh kearah Naila kaget. Sedangkan perempuan ini mengangguk menatap Zein. "Mama gue?" bisik Zein lalu menghentikan mobilnya dipinggir jalan.

"Waalaikumussalam, Naila! Kamu lagi mau kemana itu?" tanya wanita paruh baya memakai hijab instan yang terlihat pada layar ponsel Naila.

"Naila dari—"

"Mama!" sahut Zein mengarahkan ponsel Naila kearahnya—agar terlihat bahwa Naila sedang berada dengan Zein.

Muka Wiyah memekik senang melihat ponsel layarnya memergoki anaknya sedang berada dalam satu mobil dengan Naila, artinya mereka pergi bersama. "Kalian berdua habis dari mana? Kok nggak ajak Mama?"

Tangan Zein tiba-tiba merangkul bahu Naila. "Habis cari baju di Mall, Ma. Ini hari sabtu harusnya buat quality time antara Zein sama Naila dong, ya kan, Nai?"

"Iy-iya, habis dari Mall, Ma." Naila gugup apalagi tangan Zein masih merangkul dirinya.

Adawiyah tertawa disebrang. "Iya penggantin baru jalan-jalan terus ya kalian! Oh iya! Jangan lupa ya besok harus datang!"

"Iya, Mama. Zein sama istri Zein pasti dateng kok." Tangan Zein bertumpu pada bahu Naila lalu mengelus puncak hijab gadis ini.

"Bagus deh, Mama cuma mau kabarin itu aja sih. Kalian baik-baik aja, kan?"

SENDU (On Going)Where stories live. Discover now