Chapter 6

20.2K 2.1K 22
                                    

Alreyshad

El yang tiba-tiba datang ke ruanganku dengan maksud mengembalikan payung yang ku berikan semalam. Dia cantik seperti biasanya, dengan rambut cokelat tergerainya dan riasan wajah yang natural, tersenyum sambil menanyakan kabarku. Mungkin karena suaraku yang lebih serak dari biasanya memunculkan pertanyaan di benaknya.

Berkata jujur? Separuh iya, separuh tidak. Aku tau El bukan tipe wanita yang akan menunjukan perhatiannya ketika mendengar seseorang sakit. Tapi aku sangat mengenal wanita ini. Jika aku berkata aku sakit karena semalam bajuku basah, ia pasti akan bersikap tidak enak kepadaku. Jadi ku katakan kalau aku baik-baik saja yang ia balas dengan senyuman.

"Makasih" kataku. Ia yang terlihat bingung, menanyakan untuk apa aku berterimakasih. Hanya ku balas dengan senyum dan gelengan kepala.

Aku bergumam, "thank's for your concern, Le"

***

Pekerjaanku hari ini sangat menyita waktu. Sejak pagi, aku harus selalu duduk di Control Room, melihat penyuntingan video, dan memeriksa beberapa laporan, ditambah dengan menghadiri meeting pada siang hari ini. Bahkan, aku lupa jika hanya kopi yang masuk ke dalam tubuhku sejak pagi. Pagi tadi, aku tak sempat sarapan, Lalu siang ini, jam makan siangku dipangkas untuk meeting.

Selesai meeting aku melihat El yang sedang mengobrol serius dengan Tere.

"mas Ale, udah makan siang belum? Mau bareng kita nggak?" Tanya Ojan mengejutkanku.

"Boleh deh, nanti saya susul ke bawah ya. Saya mau narok ini dulu" jawabku sambil menunjuk hasil meeting tadi.

"Oke, berkabar ya mas" lanjut Fadhil.

Setelah masuk ke ruangan, aku dibingungkan dengan dua bungkusan di atas mejaku yang terdapat notes di atasnya.

Ini ada soto betawi, tanpa nasi kok. Kalo udah dingin minta tolong dipanasin aja di Pantry. Jangan kebiasaan ninggalin makan siang, Al. Nggak baik buat kesehatan kamu. Sama satu lagi, ini ada obat batuk dan flu, rekomendasian ibu kok tenang aja.

Happy eating, get well really soon ya:)

-Le-

Aku tersenyum membaca notes yang ditinggalkan El di atas makanan dan obat yang dia tinggalkan sambil mengetik pesan ke Ojan kalau aku tidak jadi ikut makan siang bersama dengan yang lain.

Setelah itu aku berjalan menuju Pantry untuk memanaskan dan memindahkan soto betawiku ke dalam mangkok. Sesampainya di Pantry, aku bertemu El dan Tere yang sedang duduk meminum kopi sambil mengobrol.

"Eh, mas Ale. Duduk mas." Sapa Tere sambil menyuruhku duduk. "Ngapain mas?" Lanjutnya

"Hai, ini manasin makan siang" jawabku. Ku lihat El yg hanya duduk menunduk sambil sesekali melirik ke arah kami.

"Kok nggak pakai nasi sih mas?" Tanyanya melihat aku makan tanpa nasi.

"Saya dari kecil nggak suka nasi, Ter. Nggak tau kenapa." Jelasku.

"Wah pantesan badan mas Ale sebagus itu. Dari kecil nggak pernah makan nasi toh rahasianya" timpal Tere sambil mengangguk anggukan kepalanya.

Makan siangku kali ini, ditemani dengan obrolan-obrolan ringan Tere dan El, sebelum pada akhirnya kami melanjutkan pekerjaan kami.

***

Elea

Setelah menceritakan masa laluku dengan Ale ke Tere, aku memutuskan untuk lanjut mengobrol dengan Tere di Pantry sambil minum kopi. Bukan tanpa alasan, aku tahu Tere masih akan banyak bertanya, aku takut pertanyaannya menjadi sumber kehebohan teman 1 departement-ku karena mendengar dan melihat ekspresi Tere yang berlebihan, jadi ku putuskan untuk mengajaknya ke Pantry.

"El, tapi lo yakin di antara lo sama mas Ale nggak ada percikan-percikan apa gitu? Secara dari cerita lo nih kalian kayak udah tinggal sentil doang jadian." tanyanya semangat.

"Semua orang juga ngomong gitu, Ter. Cuma ya sampe sekarang juga kita temenan doang." Jawabku santai.

"Lo? Lo beneran nggak pernah suka sama mas Ale, El? Gue sih kalo jadi lo udah lumer kali kayak lilin dipanasin kalo sikap doi ke gue kayak gitu" ucap Tere.

Belum sempat menjawab, aku dikejutkan dengan kehadiran sosok pria yang sedari tadi jadi bahan perbincangan antara aku dan Tere. Sambil membawa mangkuk yang aku yakini itu adalah soto betawi yang tadi ku belikan, ia duduk di mejaku dan Tere.

Sambil mengobrol santai, aku dan Tere tertawa menanggapi obrolan kami bertiga. Ya, ini pertama kalinya lagi aku menemani Ale makan setelah tujuh tahun yang lalu. Tidak banyak berubah, dia tetap memasukan semua sambal kedalam sotonya, makan apapun tanpa nasi, dan minumnya tetap air putih dingin ditambah es.

"Jangan minum es kalau lagi batuk" kataku reflek saat melihatnya membawa gelas berisi air putih dingin lengkap dengan beberapa butir es batu di dalamnya.

Tere yang terlihat terkejut dengan perhatianku yang tiba-tiba, langsung ikut melarang Ale, "iya mas, bener kata El. Suara mas Ale juga udah sengau banget."

Mendengar ucapanku dan Tere, Ale bangkit dan segera menukarkan Air minumnya menjadi hangat.

Selesai mengobrol aku langsung menuju Studio karena menerima panggilan dari mas Aji untuk melakukan breaking news dan meninggalkan Tere juga Ale yang berjalan menuju meja dan ruangannya terlebih dahulu.

***

Pekerjaanku selesai tepat waktu, sambil membereskan meja, aku merapikan riasanku dan bersiap menuju ke lobby untuk menunggu Dhana. Mobilku? Sudah biasa ku tinggalkan di kantor, karena parkir kantorku memakai biaya pertahun jadi ya aman-aman saja jika aku tinggalkan disini.

Sesampainya di bawah, aku dikejutkan dengan panggilan seseorang.

"Le" katanya sambil sedikit berlari.

"Jangan lari Al, lagi sakit kan." kataku yang dibalas dengan senyumnya.

"Aku belum bilang makasih. Tadi nggak enak ada Tere, takut kamu nggak nyaman. Makasih ya, soto sama obatnya" katanya sambil tersenyum.

"Sama-sama. Kalo udah minum obat terus belum mendingan juga, langsung ke dokter ya. Takut jadi makin parah kalo didiemin" jawabku

Ia hanya tersenyum. "Kamu mau pulang?" Tanyanya yang ku balas dengan sebuah anggukan. "Coffee with me?" Lanjutnya.

"Hmmm... aku.." belum sempat menjawab, panggilan lain terdengar dan membuatku dan Ale menoleh ke sumber suara.

"Elea!" panggil pria itu.

Dhana. Pria itu melambaikan tangannya dan tersenyum sambil berjalan ke arahku dan Ale. "Lama ya nunggunya? Sorry ya macet." Lanjutnya sambil mencium keningku.

Aku terdiam sesaat karena perlakuan Dhana. Entah kenapa aku merasa tidak nyaman dengan perlakuannya kepadaku di depan Ale.

"Dhan, ini Ale. Temenku, sekaligus PD programku" kataku memperkenalkan Dhana pada Ale yang disambut dengan jabatan tangan Ale.

"Ale" ucapnya.

"Hemm okay kalo gitu aku balik ke atas dulu ya." Katanya lagi.

Ada jeda sepersekian detik sebelum ia melanjutkan ucapannya. "Mas Dhana, saya balik ke ruangan dulu." Tambahnya.

"Okay, kami juga pamit kalo gitu. Sampai ketemu lagi Mas Ale." ucap Dhana sambil menggandeng tanganku dan berjalan meninggalkan Ale.

***

EPOCH [COMPLETED]Where stories live. Discover now