Chapter 14

15.7K 1.5K 33
                                    

Elea

Setelah perginya Ojan, aku jadi teringat ucapan Ale di Rooftop tadi dan ucapan Ojan barusan. Benar, kali ini hati dan logikaku tidak sejalan. Logikaku bilang ya sedangkan hatiku sebaliknya.

Jujur, semenjak kejadian Ayah, aku menjadi sangat hati-hati untuk menjalin hubungan dengan pria lainnya dan kebetulan hanya Dhana yang mampu membuatku melupakan ketakutanku itu. Namun sikap Dhana yang jauh lebih kasar saat kami sedang dalam masalah, membuatku jauh lebih takut untuk menjalin hubungan dengan lelaki lain.

Namun di sisi lain, aku akui sikap Ale tidak pernah berubah sejak awal aku bertemu. Bedanya, kali ini Ale jauh lebih pandai mengekspresikan perhatiannya. I can't say that I didn't melt by his attitude. Normal bukan? Ale menunjukan sikap tulusnya, dan tidak terlihat dia ingin mendapatkan "point" atas sikapnya padaku. Yang dia lakukan adalah seperti apa yang dia lakukan dahulu. Ditambah lagi, statusku yang masih menggantung dengan Dhana menjadi alasan mengapa aku masih menganggap sikap Ale adalah hal yang biasa dia lakukan terhadapku.

Di sela-sela memikirkan hal itu, aku menatap Ale di ruangannya. Ia sedang menerima telfon sepertinya pembicaranya cukup serius. Tak lama setelah ia menutup telfon, kepalanya tertunduk dan memburamkan kaca ruangannya. Aku yang melihat keadaannya, merasa tidak tega jika hanya menontonnya dari luar ruangannya. Perlahan aku berjalan menuju ruangannya lalu mengetok pintu ruangannya.

Tok.. tok..

"Al, Are you okay?" Kataku.

***

Alreyshad

Menjadi seorang PD lelahnya bukan main, walaupun ini bukan hal pertama untukku, karena di kantor sebelumnya aku sudah pernah di posisi ini. Sulitnya? Ketika sesuatu yang lama sudah rusak harus cepat diperbaiki. Sepeninggal PD sebelumnya yang tiba-tiba resign dan meninggalkan banyak sekali PR ditengah department news yang harus tetap berjalan, membuat segalanya jadi kacau. Beberapa liputan yang seharusnya tayang di pagi hari berubah jadwalnya menjadi siang hari dan seterusnya seperti itu. Dampaknya? Rating turun. Tugasku? ya menaikannya lagi.

Sudah hampir dua bulan ini aku bekerja, Namun, dua minggu belakangan aku merasa beban pekerjaanku lebih besar. Rating kami sudah jauh lebih baik dibandingkan tiga bulan lalu. Cuma, belum stabil. Karena hal ituyang menjadi persoalan di setiap rapat redaksi, Aji dan aku selalu kena semprot masalah rating. Ancamannya? Banyak. Mulai dari mutasi ke program lain sampai penurunan jabatan.

Memikirkan hal itu, membuat kepalaku pusing setengah mati. Entah sudah berapa tablet obat pereda sakit kepala yang ku habiskan. Bahkan, sekarang sudah pukul 21.00 pun, aku masih belum berniat untuk pulang dan masih betah duduk di ruanganku sambil sesekali menatap layar komputer. Aku mencoba mengembalikan fokusku saat handphone-ku memutarkan nada dering telfon.

Bunda is calling..

"Ya bun, ada apa?" Kataku

"Bang, lagi dimana? masih di kantor?" Jawab Bunda di ujung telfon.

"Iya bun, masih di kantor. bentar lagi pulang kok. Ada apa bun?" Tanyaku pelan

"Abang besok pulang ke Bandung nggak?"tanya bunda yang makin membuatku penasaran. Sebab, bunda tidak pernah menanyakan hal seperti ini ini jika tidak ada sesuatu di Bandung.

"Bun, kayaknya abang nggak bisa ke Bandung minggu ini. Kerjaan abang numpuk banget. Minggu ini juga abang masuk kantor week end. Ada apa bun?" Tanyaku penasaran.

"Yaudah nggak apa-apa kalo gitu, bang. Ini bunda kasih tau tapi jangan malah buat nambahin beban pikiran abang ya." Kata bunda yang membuat aku malah tambah penasaran.

EPOCH [COMPLETED]Where stories live. Discover now