1 | Everything Happens for A Reason

22.8K 2.3K 235
                                    

Terkadang, ada pertemuan yang belum usai meski telah dipisahkan.
🥀

"Hanya karena tidak diberi uang rokok, seorang anak tega menghabisi nyawa sang ayah dengan parang. Sambil membacok korban, tersangka juga menyeret tubuh korban ke depan rumahnya. Motif lain pembunuhan hingga saat ini masih diselidiki."

"Ck, zaman sekarang didik anak itu susah ya, Ma? Anak laki-laki harus dijaga emosinya, anak perempuan harus dijaga kehormatannya."

"Iya, Pa. Bukan cuma anak-anak juga. Itu kasus pembunuhan tiga tahun lalu, baru diselidiki setahun setelahnya. Kalau uang sudah bicara memang semua terasa dihalalkan."

"Oh, itu yang kasus pebisnis Damar? Dibunuh terus dimutilasi karena Damar Group nggak mau invest ke perusahaan rintisan baru si pelaku, kan, Ma? Papa agak lupa."

"Iya itu, Pa. Gimana sekarang Damar Group? Permainan bisnis juga mengerikan ternyata."

"Udah nggak ada Damar Group. Tumbang total. Nggak tahu detailnya bagaimana tapi memang udah nggak berjalan lagi."

"Sayang sekali, ya. Padahal sudah perusahaan besar. Tapi diklaim milik orang lain."

Rosa hanya menekuri ponsel mendengar percakapan orang tuanya. Setiap pagi memang akan seperti itu, mengobrolkan berita-berita terbaru yang tayang di televisi. Dan sejak dulu, Rosa tidak menanggapi berlebih.

"Udah jam 7, Ros," ujar Tama—papanya—yang membuat Rosa mengangguk dan memasukkan ponsel ke saku. "Berangkat sama kakakmu?"

"Iya, Pa."

"Sebentar, Mama panggilkan Salju." Yuli—mamanya—bangkit dari kursi. "Kebiasaan kakakmu itu kalau ada bimbingan, pasti malamnya begadang sampai kesiangan."

Sembari menunggu Salju keluar kamar, Rosa menghabiskan jus wortel yang tersisa sedikit, dalam sekali teguk. Tangannya dengan cekatan mengecek peralatan kuliahnya. Ini hari pertama kuliah setelah libur semester. Tahun ketiganya di bangku kuliah tidak terasa terlalu istimewa. Masih sama seperti hari-harinya saat SMA. Belajar, organisasi, dan kembali ke keluarga. Hanya itu.

"Kamu beneran ikut Kakak?"

Suara Salju membuat Rosa mendongak. "Iya, Kak."

"Tapi belum pasti Kakak pulang jam berapa ya? Mau nunggu kalau lama?"

Kampus mereka memang searah. Di antara banyaknya kampus negeri pilihan, Rosa justru memilih berkuliah di perguruan tinggi swasta, walau memang masih tergolong PTS terbaik di Jakarta.

"Nggak apa-apa," jawab Rosa singkat. Ada banyak alternatif kegiatan saat ia menunggu kakaknya menjemput nanti. Bisa membaca buku di perpustakaan, berdiam di taman kampus melihati latihan bermain peran, bahkan mengajak temannya mengerjakan tugas bersama.

Memang monoton, tapi bagi Rosa, itu kegiatan bermanfaat.

"Ros, jangan tiru kakakmu itu. Mau ada bimbingan skripsi pagi, malamnya baru kebut sampai nggak tidur. Mukanya udah pucat banget begitu."

Salju tertawa mendengar omelan mamanya. "Rosa nggak akan tiru Salju, Ma. Nggak ada sama sekali yang dia tiru. Pendiam, irit ngomong, terima mengalah, malas debat, nurutan, nggak suka melawan. Itu Rosa banget, nggak ada mirip-miripnya sama Salju."

Rosa hanya diam, menunggu Salju yang belum sarapan, kini menyantap satu potong roti.

"Tapi katanya Rosa pengin kayak kakaknya," ujar Tama.

"Masa?" Salju melongo, tidak percaya.

"Iya. Katanya pengin pintar, berani, gampang bersosialisasi, tapi nggak mau niru bucinnya."

Menjemput Patah HatiWhere stories live. Discover now