Epilog

25.1K 1.8K 480
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya Rosa Azalea binti Tama Bratajaya dengan mas kawin tersebut tunai."

Dengan satu tarikan napas, Ren mengucapkannya yakin. Ia hampir tertawa saking bahagia. Ia bahkan merasakan tremor saat tangannya meraih kotak cincin di meja. Apalagi keberadaan Rosa di sampingnya. Astaga, cantik banget. Gadis itu malah terlihat sangat tenang saat Ren ketar-ketir menunggu proses penyematan cincin.

Pelan, Ren meraih jemari Rosa. Jari saja lembut begitu, apalagi ....

"Bang! Bang Ren udah bangun belum?"

Cincin itu terjatuh, bersamaan dengan kedua mata Ren yang terbuka. Saat menyadari, ia mengumpat lirih. Sial! Cuma mimpi. Sialan banget!

Bukan lihat Rosa di sampingnya, Ren malah mendapati dirinya sendiri memeluk bantal guling. Padahal seumur-umur, saat bangun tidur ia tidak pernah melakukan itu.

"Bang Ren. Katanya mau makan siang!"

Ren mengusap wajah dengan gusar. Ia bangkit dari tempat tidur dan menghela napas kasar. Sial banget. Seminggu LDR dengan Rosa, ia tidak sanggup.

"Bentar, Lan. Abang siap-siap dulu." Ren balas berteriak dan ketukan di pintu seketika berhenti.

Ada grand opening di sebuah rumah makan seafood ternama yang baru buka cabang di Bandung. Kebetulan milik teman sesama bisnisnya. Kebetulan juga Lano mengusulkan ingin makan di sana. Tumben sekali Lano meminta itu. Padahal biasanya lebih suka mencari tempat makan sendiri.

Seperti di cabang Jakarta—Ren pernah mencobanya dulu—Trust Seafood cabang Bandung masih bertema perairan dengan nuansa seperti makan di bawah laut. Hal yang sudah menarik perhatian Ren saat pertama menginjakkan kaki di rumah makan itu.

"Pesenin sekalian buat Abang, Lan."

Adiknya itu mengangguk dan mulai fokus dengan buku menu. Pandangan Ren mengitari sekitar. Nuansanya perairan banget. Rosa pasti sangat suka kalau ia bawa ke sana. Memikirkannya membuat Ren menghela napas pasrah. LDR ternyata menyiksa. Ia acungi jempol pada pasangan LDR di seluruh dunia karena mereka mampu melalui hal yang bahkan tidak bisa Ren jalani.

Tunggu, minggu depan, ia akan kembali ke Jakarta setelah minggu lalu menilik rumah yang sudah dibelinya di perumahan dekat tempat tinggal Rosa. Tunggu saja.

Suara seperti bel namun bernada unik terdengar, tanda bahwa pintu ruangan itu terbuka. Ia memang memesan VVIP room yang telah disekat sebuah pintu dengan fasilitas yang memadai. Temannya memang tidak tanggung-tanggung dalam promosi.

"Cuma berdua aja, Ren?"

Seorang lelaki dengan jas hitam masuk ke sana. Ren langsung berdiri dan membalas senyum. "Iya, Kan. Apa kabar?" Ia membalas jabat tangan.

"Baik. Aku kira kamu belum sampai."

Ren tertawa. "Sorry ngerepotin. Adikku tiba-tiba minta ke sini."

"Nggak apa-apa. Oh iya, sekalian ngasih ini."

Ren menerima uluran itu. Sebuah undangan pernikahan. "Nikah, bro?"

Lelaki itu tertawa. "Minggu depan. Datang ya." Menepuk bahu Ren pelan.

"Pasti." Ren menyanggupi. Setahunya, temannya yang punya usaha minimarket berbagai cabang itu juga mengelola restoran yang kini disinggahinya, milik calon istri. "Malah keduluan."

"Makanya cepetan," bisiknya. "Umur 27 kayak kita udah cocok gendong bayi."

Astaga. Ren tertawa. Ia mengamati kepergian temannya di pintu. Belum sempat duduk lagi, seorang pelayan masuk membawakan banyak makanan. Ren bingung. Perasaan, ia belum memesan apa pun.

Menjemput Patah HatiWhere stories live. Discover now