7 | Perlawanan

10.4K 1.6K 280
                                    



"Sumpah, tu orang nggak punya sopan santun. Dibesarin di gua, kali, ya?"

"Iya. Padahal Rosa nggak nyari masalah sama dia."

"Apes kamu, Ros, ditaksir cowok model Kak Ren yang urakan!"

Rosa masih terdiam mendengar gerutuan Olif dan Indri yang bersahutan. Ia sama kesalnya, tapi terbiasa dengan keterdiaman membuat rasa marahnya tidak sampai kata. Atau mungkin belum.

"Berengsek, bangsat, nggak tahu adab, penindas, suka ngerendahin orang, jahanam tu laki!"

"Bisa-bisanya sekelas pada ngikut kelakuan nggak jelasnya Kak Ren." Indri geleng-geleng kepala.

"Banyak yang masih sayang nyawa, Ndri. Kak Ren-nya aja yang nggak mikir. Perlakuin cewek kayak gitu."

"Rosa ...."

Ketiganya menoleh. Abri langsung duduk di samping Rosa tanpa bertanya lebih dulu. Bisa dilihat Rosa tidak suka dengan kedatangan Abri. Gadis itu langsung menggeser kursinya sedikit menjauh.

"Mending pergi aja deh, Bri," suruh Indri, ikut sebal juga. Di saat seperti ini, kenapa banyak lelaki tidak tahu diri yang caper sih?

Tapi Abri tidak mengindahkan. Ia menatap Rosa dengan khawatir. "Cuma mau mastiin kamu baik-baik aja. Aku denger semuanya tadi."

Rosa hanya diam. Sudah bisa ditebak. Gadis itu seperti masih menyimpan kekesalan. Bukan hanya ekspresi tidak peduli yang ditunjukkan seperti biasa, tapi ada nyala api yang siap meledak kapan pun kalau dipantik sedikit saja.

"Beneran, kamu harus pergi." Olif mengingatkan. Dua tahun dekat dengan Rosa membuat mereka sedikit mengerti saat Rosa sampai pada tahap badmood.

Rosa memang tidak pernah menunjukkan itu sebelumnya, kemarahan dan kekesalan. Hal yang membuat Indri dan Olif sempat mengira bahwa Rosa tidak akan bisa marah. Sedari dulu, mereka sering saling mengejek seperti biasa tapi Rosa diam saja. Tapi ekspresi Rosa sekarang baru pertama kali keduanya lihat, membuat mereka yakin bahwa Rosa sedang sangat tidak baik-baik saja.

Abri berdecak. Bukan karena suruhan Indri dan Olif agar ia pergi, atau keterdiaman Rosa yang terasa sulit dicairkan. Tapi karena sadar bahwa jam kuliah selanjutnya akan dimulai.

"Entar aku telepon kamu, ya," ujar Abri pelan, seakan Rosa membutuhkan hal itu. Padahal sama sekali tidak.

"Abri sama Kak Ren sama aja. Nggak tahu diri!" umpat Olif sebal. "Nggak bisa lihat sikon."

"Pulang, yuk, Ros? Udah mendingan kan?"

Mereka ke kantin bukan karena lapar, tapi menenangkan Rosa yang terlihat hampir menangis tadi seusai keluar kelas. Danish yang awalnya bergabung bersama mereka memilih pulang lebih dulu karena sadar, Rosa butuh tempat, tanpa seorang lelaki.

Rosa menyeruput habis air putihnya sebelum menyampirkan tas. Gerakannya seketika terhenti saat tangan kanannya dicekal. Ia mendongak dan saat itu juga, seluruh amarahnya tadi seakan kembali menyeruak. Walau tidak sebesar sebelumnya.

"Aduh, kacau! Meledak deh tu Rosa," gerutu Indri dengan waswas, seakan tahu apa yang akan terjadi pada Ren dan Rosa.

"Gawat kalo meledak di sini, Ndri," balas Olif sama pelannya.

Kedua orang yang sedang saling berbisik itu menatap Ren dan Rosa dalam kepanikan. Sekeliling mereka lantas berubah menjadi hening. Apalagi saat Ren duduk di samping Rosa, dan diputarnya kursi gadis itu agar menghadapnya.

Kesepuluh jari Ren bertaut. Lututnya hampir bersentuhan dengan lutut Rosa. Ditatapnya Rosa yang ia buat sedekat itu, sebelum membungkukkan tubuhnya agar wajah mereka sejajar. Ia meneliti ekspresi Rosa dengan tatapan. Sorot matahari sore yang mengenai wajah Rosa saat kursi itu diputar membuat kernyitan muncul di dahi gadis itu. Sengaja, Ren tidak berusaha melindungi meskipun Rosa kesilauan. Alasannya jelas, agar Rosa tidak terlalu melihat raut wajah yang Ren tunjukkan sekarang.

Menjemput Patah HatiTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon