31 | Janggal

6.5K 1.2K 196
                                    

Darimu aku belajar memahami,
bahwa setiap keinginan tak harus terpenuhi.
🥀

"Ros, Amsterdam dingin banget, Ya Tuhan!"

Suara itu menginterupsi Rosa dari kegiatannya menata dokumen. Wanita itu Intan, sekretaris utama di PT Multi Senddana. Wanita berusia 28 tahun itu sama sekali tidak terlihat sudah punya anak walau kenyataannya demikian. Tubuhnya yang ramping terjaga dengan baik. Mungkin tuntutan pekerjaan.

"Bukannya agenda kemarin bukan ke Amstedam, ya, Kak?" heran Rosa. Ia yang mengatur agenda, walau tidak pernah hadir dalam acara-acara besar.

Intan meringis, membenarkan cepolan rambutnya. "Mampir."

Mampir ke Amsterdam? Seperti mampir ke rumah teman saja, semudah itu.

"Oh iya, personal assistant Pak Bos, itu loh anaknya. Abri kan namanya? Kemarin ngambek gara-gara kamu nggak diajak."

Astaga!

"Untung ganteng, Ros. Ngambek aja malah cute." Intan tertawa. "Kayaknya di pertemuan berikutnya kamu bakal diajak."

Rosa malah tidak berharap demikian. Posisinya sekarang terlalu berlebihan, walau memang ditempatkan di sekretaris dua di saat teman-teman yang lain bahkan hanya di bagian staf administrasi, tidak setinggi dirinya.

"Pak Yoga tuh nurut banget sama anaknya." Intan berbisik. Ia mengeluarkan sekotak kacang almond dan meletakkannya di meja. "Dan sebaliknya juga. Kadang kasihan sama Abri, terlalu banyak tuntutan harus ini dan itu, tapi untunglah saat dia bisa memenuhi tuntutan orang tua, dia dapetin apa yang seharusnya."

Rosa mengernyit. Ia ikut mengambil kacang almond saat Intan menyuruhnya. "Dapat apa memangnya?"

"Apa pun!" tegas Intan. "Minta mobil, rumah, dibeliin. Bahkan minta cewek aja, didatengin sama Pak Bos, sekalian disewain penginapan!"

Itu terdengar menakutkan.

"Makanya aku heran, sejak aku kerja di sini, nggak pernah tuh kantor ini buat magang. Kok kamu sama Abri bisa masuk? Pasti kamu udah jadi incaran Abri, Ros."

Bukan hanya incaran, tapi Rosa yang mengumpankan diri.

"Tapi ... bukannya kamu udah punya pacar?" selidik Intan.

Rosa hanya diam.

"Aku denger kamu video call tiap jam istirahat." Intan makin mendekat. Melihat wajah Rosa yang berubah pucat, Intan terkekeh. "Tenang aja, aku nggak bocorin siapa-siapa."

Rosa membalas dengan senyum. Getaran ponsel di meja membuat keduanya terpaku. Ponsel Intan menunjukkan sebuah nama, tapi diabaikan begitu saja.

"Dari suami Kak Intan itu, kan?" Rosa bukan berniat ikut campur, tapi baru pertama ia mendapati seorang istri menolak panggilan suami.

Intan justru terlihat seolah tidak mendengar ucapan itu. Menoleh ke Rosa, ia memberi senyum masam. "Ke kantin yuk, Ros. Jam istirahat ini."

Merasa tidak berhak atas apa pun untuk bertanya lebih lanjut, Rosa akhirnya mengangguk. Setelah merapikan rok span selututnya, Rosa menyejajari langkah Intan. Gedung megah itu hanya berlantai lima. Sama sekali tidak bergabung dengan ruangan untuk unit lain.

Intan memencet tombol 1 di lift saat keduanya sudah masuk. Rosa sedikit melirik ke Intan. Partner-nya yang terbiasa banyak bicara kali ini terkesan diam. Mungkin masalah keluarga memang seberpengaruh itu bagi perempuan. Entah, karena Rosa belum berkeluarga jadi tidak tahu.

Rosa merogoh saku blazernya saat merasakan getaran ponsel. Senyumnya terukir mengetahui Ren mengiriminya pesan. Lelaki itu sangat tahu jam istirahatnya.

Menjemput Patah HatiWhere stories live. Discover now