30 | Bulan Pertama

7.4K 1.2K 337
                                    

Bagaimana cara mengakali bahagia,
jika tahu ujungnya tak akan bersama?
🥀

Sudah pukul tiga pagi dan Rosa masih belum berhasil menyelesaikan apa yang dikerjakan. Ia mengernyit tidak nyaman saat membalut jarinya dengan plester. Tatapannya lalu teralih ke dapur yang berantakan. Sangat berantakan.

Kedua mata Rosa terasa sangat berat. Kembali ia menatapi ponsel, menutup tutorial 'Cara Membuat Puding' dan membuka aplikasi whatsapp. Pesan dari Ren kemarin siang.

Ren Antonio
Bsk aku sempro, syg. Doain ya.

Ren seminar proposal. Setelah sebulan berkutat dengan tiga bab awal skripsinya. Lelaki itu benar-benar tidak tertebak. Perkembangannya tidak Rosa ketahui sama sekali. Tahu-tahu sudah sampai tahap itu.

Karena kabar yang mendadak, Rosa jadi tidak bisa mengajukan izin magang walau setengah hari sekalipun. Bicara tentang tempat magang, Rosa sama sekali tidak menemukan sesuatu yang janggal. PT Multi Senddana sama seperti perusahaan lain. Jam kerja tetap, komunikasi baik, rencana terstruktur, dan ia mendapatkan gaji selayaknya mahasiswa magang. Tidak ada yang aneh. Itu yang Rosa tangkap selama sebulan ini.

Hanya saja, Rosa yang ditempatkan sebagai sekretaris dua sama sekali belum pernah menjumpai sebuah meeting besar. Intan—sekretaris utama—lah yang sering kali mendatangi. Rosa hanya mengurus bagian administrasi yang walaupun banyak tapi tidak terlalu memberatkan.

Terlebih, Rosa belum pernah berbicara dengan papanya Abri. Sama sekali. Pria itu terlalu sibuk layaknya seorang bos. Lagi-lagi tidak ada yang aneh.

Rosa menarik satu kursi dan mendudukkan diri di sana. Ditatapnya beberapa puding yang gagal. Entah itu hancur, atau tidak berasa. Kantuk yang semakin menyerang membuat Rosa tidak sengaja menyenggol loyang dan terjatuh ke lantai menimbulkan suara gaduh yang membuat Rosa mengerang frustrasi.

Kenapa membuat kejutan sesulit itu, sih?

"Lagi bikin apa, Ros?"

Suara dari arah belakang membuat Rosa kembali duduk tegak setelah mengambil loyang. Salju dengan wajah mengantuk, menghampirinya. Kakaknya itu melirik dapur dan tersenyum geli.

"Bikin puding?"

Rosa meringis malu.

"Buat siapa?"

"Temen Rosa sempro, Kak."

Salju mengangkat alis heran. Tapi melihat adiknya yang malu-malu, ia mengerti arti 'teman'. "Mau Kakak bantu?"

Rosa lantas menggeleng. "Biar Rosa bikin sendiri. Kak Salju lanjut tidur aja."

Tapi Salju tidak beranjak. Ia malah mencepol rambutnya dan memakai apron. "Ini cuma layer pertama yang belum jadi, ya, Ros. Yang cokelatnya udah terbentuk." Ia mengamati hasil tangan adiknya. "Emang agak susah sih lapis busa. Coba lagi, ya."

"Kayaknya tadi kurang ngembang, ya, Kak?" tanya Rosa, ikut antusias saat Salju menyiapkan bahan-bahan terakhir yang Rosa beli sendiri tadi siang.

"Coba gula sama putih telur di-mix sampai mengembang. Terus kalo rebusan agar-agar agak hangat, baru dicampur."

Rosa mengangguk, menuruti apa kata kakaknya. Semangatnya seperti kembali lagi. Ia bahkan yakin hasilnya kini akan sesuai yang diharapkan. Salju hanya membantu menyiapkan bahan dan memberi saran. Tetap Rosa-lah yang membuat itu semua dengan tekun dan hati-hati. Pasalnya, itu bahan terakhir. Ia bisa gagal memberi kado untuk Ren kalau percobaan terakhirnya tidak berhasil.

"Itu cokelat terakhir, ya, Ros?" tanya Salju menatap isi kulkas. "Adonan buat busanya masih. Gimana kalau lapis yang lain dibikin puding buah aja?"

Menjemput Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang