27 | Kenyataan

7.6K 1.3K 235
                                    

Update lagi neeeeh. Buat sebulan ke depan.
#canda.
Happy reading💞
___________

Menguatkan saat lemah, meninggikan saat jatuh, dan menuntun saat hilang arah. Kamu.
🥀

"Ma, bunga azalea itu kayak apa?" tanya Rosa pagi itu.

"Bukannya Mama pernah tunjukin ke kamu, Ros?" Yuli menata polybag berisi tanah yang dicampur pupuk, dan menaburkan bibit temulawak yang sudah tua.

Rosa lupa. Lagi pula ia tidak pernah melihatnya secara langsung. Kata mamanya, bunga itu hanya bisa tumbuh di udara yang dingin.

"Pokoknya cantik, kayak anak Mama," ujar Yuli lagi yang membuat suara tawa seketika terdengar.

"Ini potnya mau diletakkan di mana?" Suara satu-satunya pria di sana terdengar. Jelas itu suara Tama—papanya.

Di Minggu pagi selalu ada saja hal yang mereka lakukan. Entah berkebun atau sekadar berjalan keliling kompleks atau mencari makan di luar rumah. Tidak pernah berubah sedari dulu. Hal yang selalu Rosa syukuri karena memiliki keluarga yang begitu hangat.

"Rosa bantu, ya, Kak," ujar Rosa setelah mematikan kran hingga air yang keluar dari slang terhenti. Ia ikut berjongkok di samping Salju dan menanam bakal tanaman lidah buaya di dalam pot. "Kayak gini?" tanyanya meminta pendapat.

Salju sedikit bergeser dan memastikan bahwa bakal tanaman itu tertancap dengan benar. "Iya, Ros. Bagus. Pintar nanam juga kamu. Bakat jadi sekretaris," puji Salju dengan acungan jempolnya.

Rosa tertawa sembari geleng-geleng kepala. "Nggak ada hubungannya, Kak."

"Oh, nggak ada, ya? Yang ada hubungan itu kamu sama pacar barumu?" Salju sedikit menyenggol lengan Rosa yang langsung terdiam. "Kamu pintar cari pasangan. Tinggi keren gitu. Walaupun Kakak belum lihat mukanya, sih. Tapi Kakak percaya pilihan kamu nggak mungkin salah. Harusnya dia bangga, dapat cinta pertama dan terakhir dari kamu," bisik Salju yang makin membuat Rosa membeku.

Tadi malam, semua terasa menyesakkan. Tapi pagi ini rasa itu berubah menjadi sekadar kekesalan saja. Rosa mungkin terlalu terbawa suasana sampai bisa memutuskan untuk berhenti peduli karena nyatanya tidak bisa. Pagi ini ia tersadar bahwa mengenyahkan Ren dari ingatan tidak semudah itu.

"Mobil siapa itu, Pa, di depan?"

Pertanyaan Yuli membuat semua menoleh ke sebuah mobil yang baru saja berhenti. Tidak di pelataran, hanya di jalan depan rumah mereka.

"Mobil tetangga mungkin, Ma," jawab Tama santai.

Seperti ada yang berdengung di kepala seolah menyadarkan Rosa akan sesuatu. Mobil silver dengan sticker tiga garis merah hitam di bagian pintu depan membuat Rosa seketika beranjak. Tanpa memedulikan apa pun, bahkan tangannya masih kotor terkena tanah, ia berjalan cepat melewati pelataran.

Kalau benar orang itu Ren, maka lelaki itu sangat nekat!

Beberapa meter jarak antara mobil dengan dirinya, Rosa lantas mempercepat langkah saat menyadari kaca semakin turun. Tepat saat wajah itu terlihat, Rosa berusaha menutupi dari pandangan keluarganya.

Benar, lelaki itu Ren.

"Tutup," geram Rosa tidak sabaran. Berkali-kali ia melirik ke belakang, menyadari tatapan keluarganya yang seperti penasaran. "Kak Ren!"

"Mau ikut aku?"

Apa Ren gila? Bisa-bisanya tidak menggubris ucapan Rosa?

"Kenapa nggak bilang mau ke sini, sih?" tanya Rosa sebal. Ekspresinya tidak disembunyikan, sangat kentara.

Menjemput Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang