8 | Satu Nama

9.8K 1.5K 165
                                    


"Goblok!"

Suara makian dua temannya tetap tidak merebut fokus Ren pada sebatang rokok yang ia isap.

"Kalo lo mau cium orang tuh harus pastiin tiga hal."

"Satu?" tanya Sam sambil mendekat ke Gilang, pura-pura penasaran.

"Dia pacar lo."

"Dua?"

"Kalo dia bukan pacar lo, seenggaknya dia tertarik sama lo."

"Tiga?"

"Kalau dia nggak tertarik sama lo, minimal dia nggak benci sama lo!"

"Terus si Rosa bukan di posisi mana sampai berani tampar Ren?" Sam mengernyit bingung. Ia bahkan menerawang dan menyentuhkan jarinya di dagu.

"Semuanya, bego. Rosa bukan pacar Ren, Rosa nggak tertarik sama Ren, dan yang paling parah, Rosa benci banget sama Ren. Siapa pun cewek pasti bereaksi gitu, lah."

Sam mengangguk. "Oh gitu, cewek tuh kalau dicipok sama orang yang dia benci, berasa direndahin ya, padahal cowoknya beneran cinta. Kalau dicipok sama orang yang disuka, berasa disayang, padahal cowoknya cuma iseng."

Ren menoleh cepat ke Sam. "Lo ngomong apa?" desisnya.

Sam menggeleng. "Gue ngomongin orang lain, bukan lo. Tenang aja. Takut banget ketahuan suka sama Rosa."

Ren melotot. "Ngomong sekali lagi."

Gilang tertawa. Ia yang berada di deretan kursi paling kiri menatap Ren dengan senyum gelinya. "Ya gini kalau bukan fuckboy, ngurusin satu cewek aja repot banget. Gagal move on. Akhirnya sadboy lo entar, Ren. Udahlah, obsesi lo ke Rosa tuh karena apa, sih?"

"Karena dia susah ditaklukin, Lang. Besok kalo Rosa udah luluh, pasti juga Ren cari yang lain." Sam berdecih.

"Gue nggak yakin. Kayaknya malah Ren yang tunduk entar." Gilang terkikik. "Udah kena tampar aja masih nggak tahu diri ngejar. Ya cuma temen lo itu, Sam."

"Temen lo juga, kampret!"

Ren masih terdiam. Baginya, tamparan kemarin tidak ada apa-apanya dibanding rasa lega saat mendengar Rosa menumpahkan semua sakit hati itu. Ren bertaruh, ia bahkan rela menjadi samsak yang Rosa pukuli saat gadis itu marah-marah atas perlakuan Ren di masa lalu. Karena hanya dengan cara itu Ren merasa dimanusiakan atas kelakuannya yang seperti binatang.

"Woy, Ren. Itu rokok udah pendek, lo mau mulut lo kebakar?"

Ren tersadar saat tangannya disentak Sam dan rokok itu langsung terjatuh ke lantai.

"Sejak ketemu Rosa, kerjaan lo ngelamun mulu. Deketin lah kalau lo suka. Susah amat jadi orang."

Gilang dan Sam mungkin tidak mengerti ada kisah apa di balik pengejaran Ren terhadap Rosa. Di hari pertama ia melihat Rosa lagi, tidak ada yang sanggup Ren pikirkan kecuali sang mama. Entah, ia hanya merasa harus membawa Rosa ke hadapan mamanya. Niat itu tercetus dengan tindakan pelan yang coba Ren rencanakan, tapi kenyataan bahwa Abri mengejar Rosa sampai seperti itu rasanya ia sangat marah.

Walau Ren bukan lelaki baik-baik, tapi ia bersumpah bahwa Abri juga busuk. Hal itu yang membuat Ren kelepasan dan malah membicarakan niatnya di depan Rosa. Bodoh, ia tahu. Perempuan mana yang mau diajak ke rumah lelaki asing? Dengan alasan bertemu sang mama?

Hanya Ren dan emosinya yang bisa menciptakan kebodohan itu.

Tatap Ren tertuju ke gerbang kampus, mengingat bagaimana dulu di gerbang SMA, ia memanggil-manggil nama Rosa dengan kurang ajar sampai beberapa orang mengira ia gila. Tapi Ren akui, ia senang. Mendapati ekspresi datar Rosa yang menganggapnya tidak ada cukup membuatnya tertawa geli setelahnya, membantu Ren melupakan sejenak kepelikan yang ia alami saat itu.

Menjemput Patah HatiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt