40 | Sin

8.6K 1.3K 249
                                    

Tapi aku juga menyadari, bahwa hidup adalah tentang berjuang.
🥀

Menatap selembar kertas di tangannya, Rosa mendadak ragu. Lagi-lagi ia menoleh ke ransel di meja dan sebuah tiket yang tergenggam. Haruskah ia benar-benar berangkat sekarang?

Banyak yang berseliweran di pikirannya. Saat menatap ponsel dan melihat Ren mengiriminya pesan bahwa lelaki itu sedang perjalanan bisnis ke Lombok, rasanya ia ingin menyusul. Apalagi lelaki itu mengirimkan sebuah pemandangan yang sangat indah, lengkap dengan sebuah pesan.

Ren Antonio
Wish u were here.

Itu dikirimkan kemarin, tepat saat Ren selesai wisuda dan segera terbang ke Lombok. Rosa bahkan belum sempat bertemu Ren. Apakah salah jika ia menyusul tanpa mengabari lelaki itu?

"Ros ...."

Sebuah panggilan terdengar. Rosa segera menepikan tiket pemberangkatan pesawat, di sakunya. Ia melihat Salju sudah masuk ke kamar.

"Berangkat jam berapa?"

Rosa melirik jam di pergelangan tangan. "Bentar lagi, Kak."

Rosa tidak tahu apa yang terjadi. Tapi tatapan Salju yang terarah padanya tanpa ekspresi membuatnya mendadak gamang. Apa Salju curiga jika ia menemui Ren?

"Main ke rumah Olif, ya," gumam Salju sambil angguk-angguk kepala. Detik kemudian ia mengeluarkan ponsel dan mengulurkannya pada Rosa. "Tapi kok Olif-nya di mall sih? Dan Kakak tahunya ini mall dekat kampus kamu. Emangnya Olif kurang kerjaan dengan update status di mall Jakarta saat kata kamu rumahnya banyak banget destinasi wisata?"

Ya Tuhan. Jantung Rosa hampir copot rasanya. Ia harus menjawab apa? Memang, ia tidak terbiasa berbohong. Bodohnya lagi ia membawa nama Olif dan tidak menjelaskan kepada temannya itu. Bagaimana ini?

"Kak ...." Tidak ada kata yang keluar setelah itu. Rosa merutuki kemampuan bicaranya di saat genting seperti itu. Kebohongan apa lagi yang akan ia lontarkan di depan orang yang sudah sangat mengenalnya itu?

Melihat Rosa yang mendadak kehilangan ide untuk menjelaskan, Salju hanya menghela napas pelan, tapi terdengar lelah. Ia menumpukan dua siku di lutut untuk menyangga kepalanya. Adiknya ini selalu berhasil membuatnya khawatir.

"Kamu bohong," ujar Salju getir.

Rosa memilin jemarinya dengan gelisah. Ia sungguh tidak berniat berbohong. Ia hanya tidak menemukan alasan lain keberangkatannya ke Lombok. Pikirannya mendadak teringat Olif yang berasal dari sana hingga alasannya sungguh tidak masuk akal.

"Kemarin Ren nemuin Kakak," lirih Salju.

Di luar kebimbangan Rosa yang sudah panas dingin karena takut reaksi Salju akan marah besar, kakaknya justru mengucapkan itu dengan nada lirih, bahkan tanpa menatapnya.

Rosa jadi berpikir, pantas saja Ren tidak marah padanya. Lelaki itu menjawab tidak apa-apa bahkan sebelum ia menjelaskan alasan kenapa tidak datang di acara wisuda lelaki itu.

"Dia abis wisuda, kan?" Kali ini Salju menatap adiknya.

Rosa bisa melihat sorot pasrah dan putus asa dalam tatap Salju. Apakah ia sejauh itu menyakiti keluarganya?

"Kakak pulang kerja, ketemu dia di gerbang kompleks. Kakak larang dia ke rumah karena kondisi Mama lagi kayak gini," jelas Salju pelan. Ia menegakkan tubuh dan menatap tembok putih berhiaskan bunga mawar yang tersebar di tiap sudutnya. Sederhana tetapi mewah. Adiknya memang sosok yang seperti itu.

"Setahun, ya?" gumam Salju lagi, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Ia lalu menoleh ke Rosa yang masih terdiam, tidak berani menginterupsi. "Adikku pasti nggak sebodoh itu. Setahun bukan waktu yang sebentar. Kalau dia nggak baik, kamu punya banyak cara buat jauhin dia, karena setahu Kakak, kamu jago kalau urusan mengabaikan orang." Salju menyelipkan tawa di tengah ujaran penuh keputusasaan. "Tapi kamu bertahan. Artinya ... dia memang baik."

Menjemput Patah HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang