16 | Risiko

8.1K 1.4K 151
                                    

😣😌

🥀

Sebuah tas yang dijatuhkan ke meja di sampingnya membuat Rosa menoleh. Sedikit mendongak, ia mendapati Ren sedang menguap sebelum duduk di sebelahnya. Hari itu kedua mata Ren sangat sayu dan memerah.

"Kamu kurang tidur?"

Pertanyaan itu membuat Ren yang hampir menjatuhkan kepalanya di meja seketika mengerjapkan matanya yang terasa berat. Apa Rosa baru saja bertanya?

Menoleh ke gadis itu, Ren tidak mendapati tanda-tanda Rosa baru saja bertanya. Setelah menanyakan hal yang menyiratkan kepedulian, bisa-bisanya Rosa santai saja seakan tidak tahu kalau pertanyaan itu berpengaruh besar pada Ren.

"Lain kali, banyakin tanya, ya." Ren membuka tasnya di meja sebelum mengeluarkan beberapa kertas. "Gue juga butuh lo tanya, Ros."

Karena Ren selalu terlihat baik-baik saja di depan keluarganya, tidak sekalipun menandakan kurang tidur dan kelelahan. Mendapati Rosa bertanya, jelas membuat Ren merasa memiliki seseorang yang bisa ia jadikan sandaran dan tempat berkeluh kesah saat ia lelah.

"Gue mau tidur. Entar kalo Bu Eri masuk, bangunin gue," ujar Ren sambil meletakkan tumpukan kertas ke meja Rosa. Ia lalu menjatuhkan kepalanya di meja dan memejamkan mata.

Rosa mungkin tidak tahu, Ren selalu sulit tidur. Jam istirahatnya berantakan, juga jadwal makannya. Bagi Ren, ia harus memastikan keluarganya tidak kelaparan sebelum ia sendiri yang makan dengan tenang.

"Ros, itu kertas tugas gue. Nanti kalo--"

"Iya." Rosa memotong ucapan Ren. Ia menoleh dan lelaki itu tersenyum lebar. "Udah tahu."

Terdengar tawa kecil Ren. "Lo udah lebih ngertiin gue, ya?"

Rosa tidak menanggapi.

"Dapat salam dari nyokap gue."

Kenapa, sih, Ren tidak berhenti bicara saja? Ingin sekali Rosa mengomel, tidur ya tidur aja, nggak usah banyak ngomong. Itu bola mata udah kayak mau jatuh ke tanah. Kamu mau, nggak bisa bangun sekalinya tidur nanti?

Tapi tetap saja, Rosa menahannya dalam hati.

"Mama nanyain lo, katanya--"

"Kak, tidur!"

Tawa Ren kini benar-benar terdengar lepas. Ia menarik satu tangan Rosa dan membawanya ke atas meja, menggenggam erat. Rosa, salah satu alasannya sulit tidur tiga tahun terakhir, kini membuat Ren merasa lebih tenang. Menyadari gadis itu bisa ia gapai walau perasaan bersalah masih menggelayuti, membuat Ren berjanji untuk memperjuangkan.

Penolakan Frisya mungkin sedikit memengaruhi Ren, tapi mendengar ucapan mamanya, Ren kembali tersadar apa yang harus ia genggam sekarang. Ia bukan anak remaja lagi. Berkali-kali Ren tidak hanya berdiri di ujung jurang, bahkan sempat sangat terpuruk dalam hidupnya. Lalu apa yang ia takutkan kalau kemungkinan terburuk Rosa bisa saja menolaknya? Ren pasti bisa menghadapinya jika itu terjadi. Rasa 'hancur' itu akan tetap sama sekalipun penyebabnya berbeda.

"Selamat pagi ...."

Suara itu sontak membuat Rosa refleks menarik tangannya dari genggaman Ren. Lelaki itu sepertinya sudah menyelami alam mimpi sampai tidak terpengaruh dengan gerakan Rosa, maupun suara Bu Eri yang sedikit keras.

"Ren tidur?"

Sudah bisa dipastikan, saat pertama kali dosen masuk kelas pasti yang dicari adalah Ren. Lelaki biang onar itu seperti harus diawasi lebih ketat.

"Sudah mengerjakan tugas belum dia?" gumam Bu Eri sambil melangkah mendekat.

Rosa baru akan membangunkan Ren saat Bu Eri menggeleng, tanda agar dibiarkan saja. Kini Bu Eri ada tepat di depan Ren, memperhatikan mahasiswa itu sambil geleng-geleng kepala.

Menjemput Patah HatiWhere stories live. Discover now