35 | Permainan

6.9K 1.2K 212
                                    

Aku berjanji akan terus mencintai, walau dunia tak izinkan kita untuk saat ini.
🥀

Rosa belum sempat meraih sendok saat ponsel di tangannya bergetar. Tidak hanya dirinya, Ren juga melihat apa yang tertera di sana. Sebuah pesan yang menghancurkan paginya saat itu juga.

"Kamu diteror lagi?!" Nada suara Ren meninggi saat ia merebut ponsel Rosa dan membaca pesan di sana.

Sdh dpt kabar buruk hari ini?

Sudah pasti dari Pak Yoga.

"Bajingan," umpat Ren lirih, berusaha menyembunyikan kemarahan tapi kali ini gagal total.

"Kak," sergah Rosa cepat. Ia menahan lengan Ren yang sudah hampir berdiri. "Jangan gegabah."

"Aku nggak akan diam kalau dia juga berniat celakain kamu, Ros," geram Ren. Wajahnya sudah merah padam. Gurat-gurat di wajahnya tercetak jelas sampai leher. Rahangnya terkatup rapat, gerahamnya bergemeletuk hebat.

Rosa menggeleng. "Dia nggak tahu kita ada hubungan."

"Bullshit! Dia tahu!"

"Enggak," jawab Rosa pelan, berusaha mengimbangi nada suara Ren yang memekakkan telinga. "Enggak, Kak. Aku yakin."

Awalnya Ren mengalihkan pandangan, berusaha tidak memercayai ucapan Rosa yang pasti hanya berniat menenangkan. Tapi ia adalah Ren. Sekali ditantang, ia akan menghabisi siapa pun!

"Dua hari lalu juga hampir sama kayak gitu, Kak. Tapi sampai sekarang nggak ada apa-apa, kan? Tenang dulu, ya," bujuk Rosa lagi. Kali ini ia menarik pelan lengan Ren agar kembali duduk.

Belum sempat Rosa berhasil membujuk Ren, getar ponsel di tangan Ren kembali membuat keduanya tersentak, penuh antisipasi saat melihat caller id. Dengan tangan terkepal kuat seakan ingin menghancurkan ponsel Rosa saat itu juga, Ren membawa ponsel ke telinganya.

Rosa bisa melihat ketegangan itu. Pertama kalinya Rosa tahu, Ren menunjukkan ketakutan yang selama ini bersembunyi di balik sosoknya yang terlihat selalu mampu melakukan apa pun. Ren selalu kelihatan dominan dan tidak takut apa pun. Tapi sekarang, lelaki itu jatuh dalam kekhawatiran pekat.

Ren mengulurkan tangan, memberi isyarat agar Rosa ikut dengannya. Langkah itu tidak tergesa, justru ragu-ragu. "Kamu dipanggil ke kantor jurusan," gumam Ren saat sudah menaiki motor.

Rosa hanya mengangguk, tidak menanggapi lebih lanjut. Ia tidak bisa menebak apa yang akan terjadi, tapi mungkin Ren sudah tahu. Ia bahkan lupa kalau harus menyembunyikan hubungannya dan Ren di kampus. Karena saat sudah sampai di sana, keduanya dipenuhi tatap sekitar seakan bertanya.

Tiga bulan terakhir ini Rosa magang, sedangkan Ren muncul di kampus sesekali. Hubungan keduanya sama sekali tidak terendus di sana. Tapi kali ini, kebenarannya sudah tersebar. Dan Rosa tidak peduli jika pun Abri mengetahui.

"Aku tunggu sini." Ren melepas genggaman pada tangan Rosa saat sampai di kantor jurusan.

Sungguh, Ren tidak ingin melepas Rosa barang sedetik hari itu. Ia tahu apa yang akan terjadi. Tapi demi menjaga kesopanannya di kantor jurusan, ia melepas Rosa sendiri.

Langkah Rosa seakan gamang. Ia memberi senyum hormat ke dosen yang ia lewati sebelum sampai di meja ketua prodi. Bu Eri memberi senyum merekah padanya, seakan kabar yang akan dibagikan adalah sebuah kebanggaan.

"Jadi begini, Rosa ...."

Tangan Rosa terpilin di pangkuan. Ia sungguh tidak suka saat-saat seperti ini. Perutnya melilit hebat.

Menjemput Patah HatiWhere stories live. Discover now