10 | Perjanjian

8.4K 1.5K 191
                                    


Tiga tahun lalu.

Suara tangis seorang perempuan tetap tidak membuat Ren kehilangan ketenangannya, walau dalam hati terasa lelah luar biasa. Tangis itu milik Frisya, adiknya yang masih duduk di kelas satu SMP. Berselonjor di pinggir jalan tengah malam itu, kedua kaki Frisya digunakan untuk tumpuan seorang wanita renta yang tidak lagi sadarkan diri.

"Ke rumah sakit!" teriak Frisya dengan memaksa.

Ren yang awalnya berdiri menatap jalanan, kini menghampiri adik perempuannya. Ia berjongkok dan memberi tatap menenangkan walau tulang-tulangnya terasa hampir remuk menggendong mamanya sekaligus memastikan dua adiknya baik-baik saja dalam perjalanan. "Bentar, ya. Lagi cari tumpangan, Fris."

Tangis Frisya semakin meledak membuat Ren terduduk lemah. Tangannya sedikit bergetar saat mengusap wajah mamanya yang begitu pucat pasi. Tidak ada dari mereka yang keluar rumah tanpa berdarah-darah. Termasuk Lano, adik laki-lakinya yang kini tidur menggigil bersandar pada bahu Frisya. Anak yang duduk di sekolah dasar, sekecil itu, tidak pantas terluka hanya karena orang-orang tidak bertanggung jawab.

"Bang," rengek Frisya untuk kesekian kali dengan tangisan, seakan memberi tahu bahwa ia tidak sanggup lagi.

Ren bukan menyerah. Berkilo meter mereka berjalan sampai tidak kuat lagi menapaki jalanan di malam hari. Banyaknya modus kejahatan baru mungkin membuat orang yang berkendara sama sekali tidak peduli dengan cegatan Ren yang meminta tolong.

"Mama kasihan."

"Iya," jawab Ren lemah.

Melanjutkan perjalanan pun tidak akan sanggup. Ren bisa menggendong mamanya, tapi Frisya dan Lano pasti kelelahan. Berdiam di pinggir jalan juga bukan pilihan bagus.

Ren beranjak dengan wajah lelah yang tidak bisa disembunyikan sekalipun di tengah gelap malam. Ia mengembuskan napas keras, seolah melepaskan penat yang menggelayut di pundaknya. Matanya memicing saat lampu sebuah mobil menyorot ke arahnya. Sigap, Ren turun ke jalan dan berdiri di sana, tepat di depan mobil yang akhirnya berhenti setelah klakson berulang kali. Harus dengan cara itu. Kalau tidak, sampai pagi pun Ren tidak akan mendapatkan tumpangan.

"Lo gila?!" teriak seorang perempuan yang sudah menyembulkan kepala dari kaca mobil.

Dengan cepat Ren menghampiri, menuju kaca samping dan mendapati raut tidak mengenakkan itu. Ren harus mematahkan rasa malunya sendiri saat memohon, "Gue boleh minta tolong anterin ke rumah sakit?"

"Naik taksi kan bisa!" sentak perempuan itu dengan suara sangat keras.

Kalau bukan dalam keadaan seperti ini, Ren pasti sudah meninggalkan perempuan arogan itu. "Gue nggak ada uang."

"Hubungi temen lo juga bisa. Jangan bilang lo nggak punya hp?"

Ren diam, tidak menjawab. Karena benar, ponselnya tertinggal di rumah.

"Gue nggak ada waktu buat nolong orang."

Mesin mobil sudah menyala dan Ren terkesiap. Ia menahan kaca yang hampir tertutup. "Gue akan bantu lo apa aja." Ren mengetuk kaca yang kini sudah tertutup. "Gue akan lakuin apa yang lo perintahin. Gue janji!"

Ren melihat keterdiaman perempuan di dalam mobil. Dalam beberapa detik, kaca mobil kembali diturunkan. Saat melihat tatap sinis itu, Ren yakin ia salah mengucapkan hal tadi kepada orang di depannya.

"Apa pun?" Seringai itu semakin jelas.

Tapi Ren tidak punya pilihan lain. Ia mengangguk samar, sedikit ragu. Telanjur. Ia tidak bisa mundur.

"Oke, tapi jangan minta biayain rumah sakit juga."

Ren menggeleng. Ia lega karena mendapat tumpangan, sekaligus ketar-ketir karena takut keputusannya itu justru bisa membahayakan dirinya sendiri atau bahkan orang lain. Karena ia tahu perempuan yang memberinya tumpangan bukan orang baik-baik. Sekilas saja ia tahu. Dari caranya tidak membantu Ren sama sekali saat membawa dua adiknya dan mamanya—Ren tidak berharap dibantu—hanya saja raut keengganan saat memberinya tumpangan membuat Ren sangat tidak nyaman.

Menjemput Patah HatiWhere stories live. Discover now