36 | Pengecut

6.9K 1.2K 299
                                    

Aku seorang pengecut.
Sampai-sampai menemuimu lagi, aku harus mengibas takut dan menanggalkan rasa malu.
🥀

Hanya satu kali pukulan, tubuh Abri menggelepar di lantai. Emosi Ren yang meluap tadi begitu menggerumul dan tidak mereda meski musuh di depannya sudah tak sadarkan diri. Sebelum pukulannya pun, wajah Abri sudah babak belur. Jadi ia tidak mau melebihi itu dalam melampiaskan segala emosi yang seharusnya ia bagi dengan dirinya sendiri. Pukulan yang seharusnya ditujukan juga kepadanya. Karena ternyata, Ren tidak kalah berengsek dari Abri.

Kedua tangannya masih terkepal di samping tubuh. Dalam pejaman di antara napasnya yang teramat menderu, Ren diserbu perasaan yang lagi-lagi membuatnya mengernyit nyeri. Begitu lekat dan tidak asing, karena rasa itu mengiringinya dalam tiga tahun terakhir.

Ketika akhirnya Ren menoleh, Rosa sudah duduk di tepi tempat tidur, menatapnya tanpa tahu bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Terlebih cara Rosa memberi senyum dengan rentangan tangan seakan menyambutnya saat ia berbalik, membuat langkah Ren gontai mendekat dengan perasaan tidak tentu.

Ren berdiri tepat di depan Rosa yang mendongak seakan menunggu ia masuk dalam lingkar peluk yang sudah Rosa siapkan. Saat itu juga kedua bola mata Ren merebak. Rosa bahkan baik-baik saja sekarang. Sedangkan dulu, gadis itu hancur berantakan dengan pakaian compang-camping, sobek di sana sini. Itu menandakan bahwa Ren bahkan lebih berengsek dari Abri.

Pemikiran itu lantas membuat kedua lutut Ren menekuk dan membawa serta tubuhnya luruh ke lantai, terduduk tepat di depan Rosa dan menjatuhkan kepala di pangkuan. Ada tangis yang Ren tahan kuat-kuat saat Rosa menyentuh kepalanya.

Ren merasa kecil, kerdil, dan menciut. Nyatanya, hampir setahun kebersamaannya dengan Rosa, ia tetap tidak bisa memaksa rasa bersalah itu hilang sendirinya. Ia pengecut, bersembunyi di balik maaf dan alasan yang tak masuk akal. Padahal dirinya memang bersalah.

Sedangkan Rosa yang masih bertahan dengan duduknya, mengernyit heran melihat Ren mendadak sejatuh itu. "Aku baik-baik aja, kok," ujarnya jujur, tidak tahu kata apa lagi untuk menghibur.

Pangkuannya terasa basah. Apakah Ren menangis? Rosa masih tidak bisa menerka alasan Ren terlihat begitu murung.

"Maaf."

Satu kata yang membuat Rosa membeku. Walau ditahan pun, mereka sadar ada sesuatu tak kasat mata yang mengurung keduanya selama ini. Sesuatu yang sampai kapan pun tidak akan hilang dari ingatan.

"Aku salah banget, ya?"

Rosa masih membeku. Mulutnya hampir terbuka untuk mengucapkan sesuatu, tapi lagi-lagi tak ada kata yang bisa terwakilkan. Ren dengan lelehan air mata di pipi, kini mendongak menatapnya seakan anak kecil yang menuntut maaf. Begitu tulus dan tidak dibuat-buat.

Pada akhirnya, Rosa mengalihkan wajah melihat itu. Memang, ada saatnya ia merasa sangat sakit mengingat apa yang sudah Ren lakukan padanya, walau menerima sebaik mungkin penjelasan yang Ren lontarkan.

Tapi bagi Ren, ia merasa setengah hatinya nyaris sekarat. Seharusnya ia tak sampai hati untuk melukai gadis sebaik Rosa, seharusnya tidak ada tempat yang layak untuk bajingan sepertinya melabuhkan hati. Kenapa justru Rosa menerimanya tanpa tapi?

Mungkin benar, penyesalan terbesar bagi seorang lelaki adalah saat ia gagal menjaga seseorang yang dikasihi. Dan Ren melakukan itu. Isaknya lolos untuk pertama kali. Dalam tiga tahun terkurung kebencian pada diri sendiri, kini Ren membiarkan lukanya telanjang di depan orang yang telah gagal ia jaga di detik pertama.

Sudah tiga tahun, bahkan hampir empat tahun, tapi Ren belum berhasil memberi dirinya sendiri sekadar kesempatan. Kesempatan untuk memaafkan.

Saat isak tak juga reda, Rosa ikut bergabung dengan kelelahan Ren yang tertunduk di lantai. Ia tidak tahan untuk memeluk leher Ren erat, membisikkan bahwa ia baik-baik saja. Bahwa bukan hanya Rosa yang harus memaafkan, tapi diri Ren sendiri.

Menjemput Patah HatiWhere stories live. Discover now