41 | (Lagi) Menjemput Patah Hati

9.3K 1.4K 340
                                    

Kepergian bukanlah hal yang aku pilih. Tapi dengan itu, aku bisa membiarkan diri sendiri terluka, tanpa kamu ikut merasakannya.
🥀

Suara pintu kamar mandi terbuka membuat Ren membalikkan tubuh dari jendela yang menampakkan pemandangan resort, lalu ia dapati Rosa berhenti di tengah kamar. Mereka saling pandang dalam diam. Banyak perasaan campur aduk yang mendera keduanya. Penyesalan, malu, lega, takut. Tapi di antara itu semua, mereka masih sama dalam merasakan cinta. Tidak berubah, bahkan lebih hebat dari sebelumnya.

Saat akhirnya Rosa melangkah ragu mendekat, Ren memberi senyum menenangkan, membuat Rosa tidak lagi menunduk namun yakin untuk menghampiri.

Sinar matahari pagi menyusup pelan dari tirai yang hanya dibuka separuh. Ren menyadari Rosa mengernyit saat mendongak menatapnya. Melihat itu, Ren sedikit bergeser menutup akses cahaya menyilaukan dengan tubuhnya yang tinggi. Hal itu lantas membuat kedua mata Rosa mulai mengabur. Ia benar-benar menyayangi Ren sedalam itu sampai-sampai apa pun yang dilakukan Ren terasa sangat berharga baginya.

Rosa memejamkan mata, gagal menahan buliran yang berdesakan ingin mengalir. Matanya sudah sangat berat sejak semalam. Tapi sepertinya tangisannya tidak akan pernah cukup. Detik itu ia merasakan usapan lembut di kedua kelopak matanya yang terpejam. Satu hal lagi, sentuhan Ren terasa sangat menenangkan.

Ren mengamati itu dalam diam. Jari telunjuknya bergerak membelai buliran yang mengalir, sedikit demi sedikit mengusap jejaknya hingga tak tersisa. Rosa masih terpejam saat Ren melarikan jemarinya menuruni hidung, bibir, sampai dagu. Helaan napas Rosa tertahan, saat Ren justru mengembuskan napas dengan halus.

Sentuhan Ren turun ke leher Rosa, memejamkan mata saat telunjuknya sudah hinggap di bekas kemerahan tepat di atas belahan dada Rosa. Ia tidak pernah melakukannya kepada perempuan lain. Entah setan dari mana yang membuat bibirnya mencecap kuat di sana semalam hingga menimbulkan jejak separah itu.

"Maaf," bisik Ren dengan suara tercekat. Tatap mereka sekejap bertemu saat Rosa membuka mata. "Aku pengecut, ya. Harusnya aku nggak ngelakuin ini di saat belum bisa ngeyakinin orang tua kamu."

Bukannya mereda, lelehan air mata Rosa bahkan lebih parah. Rosa masih menggigit bibir bawahnya, menahan tangis saat Ren perlahan memasang dua kancing teratas kemejanya. Ia menunduk. Bekas itu tidak terlalu kelihatan seandainya ia tidak mengancingkan dua kancing teratas, seperti biasa ia berpakaian. Ia yakin itu karena sudah melihat pantulan dirinya di cermin tadi. Tapi sepertinya Ren punya alasan lain.

"Nggak kelihatan, tapi ...." Seakan menjawab pertanyaan Rosa tadi, Ren kembali mengembuskan napasnya dengan lelah. Memang tidak kelihatan, tapi itu bentuk pelindungan diri Ren sendiri, atas perasaan bersalah yang teramat pekat.

Tangan Ren lalu meraih totebag di meja. Gerakannya sangat pelan saat mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah syal tenun berwarna dominan merah, dengan motif etnik yang sangat indah perpaduan berbagai warna. Kedua ujungnya dibiarkan tanpa ditenun. Tidak terlihat berantakan, justru membuat kain-kain itu menjuntai berwarna.

Ren memakaikan syal itu ke leher Rosa. Tangannya mengibas rambut Rosa ke satu sisi sebelum kembali mengurainya ke belakang kepala saat syal sudah terpasang sempurna. Ren bahkan tidak berhenti di sana, merapikan rambut Rosa yang terasa lembut di tangannya.

Menjauhkan tubuh untuk memandangi Rosa, Ren memberi senyum saat menyadari betapa sempurna Rosa di matanya. Ia lalu mendekat, membisikkan kata-kata di telinga Rosa, tepat. "Happy birthday, Love."

Detik itu juga perasaan Rosa membuncah tidak karuan. Saat berangkat ke Lombok kemarin, ia sempat mengingat bahwa ini hari ulang tahunnya. Ia bahkan menunggu-nunggu apakah Ren tahu hal itu. Tetapi sejak semalam, ia lupa tentang semua hal. Yang ada hanya dirinya dan Ren, serta masa depan yang belum pasti.

Menjemput Patah HatiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ