21 | Terenggut

9.1K 1.4K 314
                                    

Kadang-kadang, kita membuat patah hati kita sendiri melalui harapan.
🥀

"Lagi bahagia sama Rosa, ya?"

Ren tersenyum mendengar ucapan mamanya. Ia melepas apron dan membawa dua piring lauk ke meja makan, menatanya dengan baik. Frisya menyusul kemudian membawa sewadah nasi lengkap dengan empat piring kosong yang ditumpuk.

"Minggu lalu kayaknya Bang Ren teleponan terus, Ma." Suara Lano terdengar setelah duduk di kursi makan, dengan seragam putih birunya.

"Cuma sekali. Nggak terus-terusan." Ren menyahuti. Memang benar ia sempat berteleponan lumayan lama dengan Rosa. Bisa ditebak, Rosa kebanyakan diam. Gadis itu sepertinya tidak terlalu suka berbicara lewat telepon. Dan itu yang membuat Ren memilih menghampiri Rosa keesokan paginya.

Itu terjadi Rabu minggu lalu. Sudah lewat lima hari ia mendapati chat-nya tidak lagi dibalas Rosa. Semua seperti kembali ke awal, di mana mereka tidak terlalu akrab. Ren khawatir. Rosa seperti hilang tanpa kabar. Pernah ia sengaja menunggu Rosa di hari Jumat, tapi tidak didapatinya Rosa di kampus. Sabtu dan Minggu libur, tidak mungkin kan ia menemui Rosa di rumah?

Dan sekarang, hari Senin terasa sangat lama saat ia menunggunya tiba. Tanpa sadar Ren menghela napas lelah. Ia menggeleng pelan untuk menjernihkan pikiran sebelum mengambilkan makan untuk mamanya.

"Sudah bukan teman lagi, ya?"

Ren lagi-lagi tersenyum ke Ani. Pertanyaan penuh harap itu mau tidak mau membuat Ren mengangguk, menerbitkan sorot bahagia yang bisa ia tangkap.

"Bang Ren udah pacaran?" Lano menegaskan dengan kalimat tanya.

Dengusan lirih Ren mampu membuat semua mengerti bahwa jawabannya iya.

"Nambah beban doang pasti." Kalimat tegas Frisya, lengkap dengan suara sendok yang dijatuhkan ke piring dengan kasar, menarik perhatian semua orang.

"Justru jadi penyemangat tahu, Kak," bela Lano dengan polosnya.

"Kamu masih kecil. Tahu apa soal pacaran?" sentak Frisya ke adiknya yang sanggup membuat Lano memilih diam saja.

"Biar abangmu ini seneng, Fris." Ani menambahkan. "Kita dukung saja pilihan abangmu."

Frisya tertawa kecil. Tubuhnya bersandar di kursi saat kini giliran garpu yang diletakkan kasar ke atas piring, menimbulkan suara yang cukup nyaring. "Seneng sampai nanti diperlakukan nggak baik, dipermalukan di depan banyak orang, direndahin karena Bang Ren dari keluarga sederhana. Itu bikin bahagia, Ma?"

"Rosa nggak begitu." Ketimbang menyulut emosi Frisya, Ren memilih menimpali dengan nada santai. "Dia baik."

"Abang juga bilang Kak Angel baik. Nyatanya malah maki-maki Abang di depan banyak orang. Bilang Abang nggak sanggup bayar makanan, bilang Abang miskin."

Ren hanya geleng-geleng kepala. "Rosa nggak akan permalukan Abang."

"Siapa bisa jamin? Perempuan cuek begitu nggak akan ngasih perhatian cukup. Egois."

"Fris." Ren menatap adiknya dengan senyum geli. Ia tahu Frisya hanya khawatir dirinya kembali menemukan perempuan yang akan menyakitinya seperti masa lalunya. Ren lalu mendekat ke Frisya dan berbisik, agar dua orang yang sedang makan tidak mendengar apa yang ia ucapkan. "Abang nggak pernah pacaran sama Angel. Mungkin itu bikin dia kecewa sampai begitu. Abang maklum. Kalau Rosa, Abang bener sayang dia. Dan Abang percaya pilihan sendiri."

Yang tahu tentang kejadian itu memang hanya Ren dan Frisya. Perihal Angel yang memaki Ren di tempat makan saat lupa membawa dompet. Bagi Ren, itu tidak terlalu memberati walau ia direndahkan. Tapi bagi Frisya mungkin berbeda. Seorang lelaki yang dicampakkan begitu, terutama kakak kandungnya sendiri, pasti membuatnya tidak terima.

Menjemput Patah HatiWhere stories live. Discover now