Chapter 4

5.6K 277 1
                                    

Eve yang saat itu masih merasa sedih dan sakit hati dengan perlakuan Dante memutuskan untuk pergi dari kantor saat jam makan siang. Biasanya ia akan makan di kafetaria yang ada di bangunan yang sama, namun hari itu ia ingin menghindar terlebih dahulu, jadi ia berangkat ke sebuah restoran lokal yang ada di sana dan memilih untuk makan siang sendiri. Ia berusaha untuk tidak terlihat seperti seorang wanita yang habis menangis, ketika ia masuk, ia memilih duduk di pojokan dekat jendela dimana ia bisa melihat pemandangan orang – orang yang berjalan lalu lalang di pinggir kota.

Tidak lama kemudian seorang pelayan menghampirinya dan menanyakan pesanananya. Ia melihat menu sekilas dan memesan Chicken Hash dan segelas jus buah, karena ia tidak suka minum soda, itu membuatnya mual.

Sambil menunggu, ia merenungi apa yang baru saja terjadi. Ia tidak tahu kenapa ia bersikap seperti itu tadi, memang hatinya sakit, tetapi ia berada di kantor, dimana ia harus bersikap secara professional. Meneteskan air mata hanya karena ia ditegur seperti itu membuatnya merasa lemah. Ia bertanya – tanya apakah ia terlalu lembut atau memang perasaannya terlalu halus untuk dunia kerja yang kasar seperti itu. Tetapi tidak juga, selama ini ia baik – baik saja menghadapi marahan dari Noah. Ya, sebaik – baiknya Noah dulu, pria tua itu juga pernah memarahinya saat ia tidak bekerja secara efisien, tetapi ia tidak pernah meneteskan air mata karena dimarahinya. Jadi kenapa ia sampai menangis segala?

Mungkin karena yang memarahinya adalah Dante. Pria itu menakutkan, mulai dari suaranya hingga caranya berbicara, semuanya sangat mengintimidasi, ditambah postur tubuhnya yang besar membuatnya tampak lebih seram ketika marah. Memang wajahnya tampan, tetapi tetap saja, itu bukanlah alasan bagi Eve untuk tidak takut dengannya.

Entah kenapa tiba – tiba ia merasa ingin menangis lagi, padahal tadi ia sudah baik – baik saja. Yasudahlah, tidak aka nada yang melihat atau mengenalnya ini, Eve bukanlah wanita populer dengan banyak koneksi, walaupun ia sudah tinggal di New York selama bertahun – tahun, bukan berarti ia memiliki banyak kenalan di sana. Kebanyakan hidupnya hanya ia habiskan untuk bekerja, jadi ya, jika ia ingin menangis, tidak akan ada yang menghakiminya.

Akhirnya ia membiarkan air matanya pun keluar, ia duduk di pojokan, tidak akan ada yang melihatnya menangis, paling tidak itu yang ia kira.

Di tengah – tengah, tiba – tiba ia merasakan bahwa seseorang sedang menyodorkan tisu kerahnya, ia mengangkat wajahnya dan menengok ke samping untuk melihat siapakah yang memperhatikannya dan ia sedikit terkejut karena ia melihat seorang pria tampan yang mengenakan jaket kulit warna hitam dan celana jeans berdiri di sana, Rambutnya pirang dan ia memiliki mata berwarna biru paling cantik yang pernah ia lihat. Dagunya bersih tanpa kumis tetapi ia tetap terlihat sangat maskulin. Eve dapat melihat tato kecil berbentuk salib di jari manisnya, sementara di lehernya ada juga tato yang terlihat seperti gambar dedaunan abstrak.

"Ini, ambillah." Kata pria itu. Suaranya sangat berat namun ia terdengar ramah. Eve sedikit kebingungan namun akhirnya ia mengambil tisunya juga lalu mengucapkan terima kasih kepada pria itu. Ia tidak tahu siapa orang asing ini, tetapi ia cukup berterima kasih karena gestur kecil yang diberikannya.

"Tadi saat aku datang restoran ini sudah penuh, ini memang jam makan siang, bolehkah aku duduk bersamamu?" tanya pria itu. Eve tahu itu bukanlah hal terbaik yang bisa ia lakukan, makan bersama orang asing, tetapi dia tidak terlihat seperti orang jahat dan mereka hanya akan makan, bukannya bercumbu atau berhubungan seks, jadi apa salahnya?

Ia mengangguk dan membiarkan pria itu duduk di seberangnya. Pelayan yang sama datang menghampiri mereka sementar Eve mengusap air matanya. Ia menanyakan pria itu apa yang ingin ia pesan.

"Aku ingin sepiring Chicken Hash dan jus buah campur." Eve tidak tahu apakah itu hanya kebetulan, namun pria itu memesan menu yang sama dengannya. Eve tertawa kecil, pria itu memalingkan perhatiannya kepada Eve sambil bertanya.

"Apa yang lucu?"

"Tidak, hanya saja, kau memesan menu yang sama denganku. Apa kau yakin kau tidak mengikutiku dari tadi?" Canda Eve.

"Mungkin saja, entahlah. Tapi aku penasaran, kenapa wanita secantik dirimu bisa menangis? Siapa yang membuatmu sedih?" Eve benar – benar tidak ingin membicarakan mengenai itu. Sudah cukup ia memikirkan Dante hari itu dan sepertinya pria itu bisa merasakannya. Ia tidak memaksaka Eve untuk menceritakan masalahnya dan mengalihkan topik pembicaraan.

"Oh ya, namaku Elliot by the way, Elliot Carliston." Ia menyodorkan tangannya. Eve memandanginya sejenak sebelum membalasnya.

"Genevieve, Genevieve Hummington. Tetapi semua orang yang mengenalku memanggilku Eve." Pria itu tersenyum mendengar namanya.

"Eve, nama yang bagus. Aku suka itu." Tidak lama kemudian, makanan mereka datang dan mereka makan bersama. Tadinya Eve berpikir bahwa ia akan menghabiskan makan siang sendiri namun karena ada Elliot, ia jadi punya lawan bicara dan ternyata Elliot adalah seorang pria yang menyenangkan dan humoris. Mereka mengobrol santai dan membicarakan berbagai macam topik, mulai dari kota New York, makanan dan tempat – tempat yang pernah mereka kunjungi. Siang itu suasana hati Eve berubah seratus delapan puluh derajat dan semuanya itu adalah karena ia bertemu dengan Elliot.

Setelah makan siang mereka selesai, Eve harus kembali ke tempat kerja. Pelayan yang tadi datang dan memberikan bill, Eve hampir mengambil dompetnya untuk membayar ketika pria itu mendahuluinya dan membayar makanan mereka berdua.

"Biar aku saja." Katanya singkat. Eve sangat menghargai gestur kecil semacam itu. Salah satu hal yang membuatnya sedikit risih adalah ketika seorang pria meminta untuk membagi bill nya 50/50. Jika ia sedang bersama dengan teman wanitanya, hal itu wajar saja. Namun ketika bersama dengan seorang pria, ia lebih menyukai pria yang membayar saat sedang bersamanya.

"Terima kasih untuk hari ini, aku harus kembali bekerja." Kata Eve ramah. Sebelum ia meninggalkan restoran, Elliot memintanya untuk menunggu sebentar sambil mengeluarkan teleponnya. Eve tahu apa yang ia maksud, terdapat sebuah senyuman penuh harapan di wajah Elliot. Eve cukup menyukai acara makan mereka tadi dan ia juga masih single, jadi ia tidak melihat ada masalah jika ia memberikan Elliot nomor teleponnya. Lagipula jika nanti pada akhirnya ia tidak menyukai pria itu, mereka tidak perlu bertemu lagi dan ia bisa dengan mudah memblokir nomornya.

"Aku harap kita bisa bertemu lagi, Eve." Wanita itu mengangguk sebelum ia keluar dari restoran dan kembali bekerja. Namun ketika ia baru masuk ruangan, ia melihat Dante duduk di sofa kantornya sambil meminum kopi. Kelihatannya ia belum meninggalkan ruangan itu seharian, bisa terlihat dari bungkus makanan yang berada di meja kopinya. Ketika ia melihat Eve, ia langsung berdiri dan menghampiri wanita itu.

"Dari mana saja kau? Aku tidak melihatmu sama sekali di kafetaria tadi ketika makan siang." Eve tidak mengerti kenapa Dante terlihat begitu kesal. Sepertinya ia masih ingin melanjutkan urusan yang tadi pagi. Eve tidak membalasnya dan ia langsung pergi untuk mengurusi dokumen yang ada. Hal ini membuat Dante kesal, ia mengambil tangan Eve, memaksa wanita itu untuk menatapnya.

"Jangan diamkan aku seperti itu, Eve!"

Kali ini, Eve memutuskan untuk tidak menangis, ia berusaha melepaskan tangannya dari Dante dan walaupun sulit karena genggaman pria itu cukup kuat, akhirnya ia berhasil, namun ia melihat sedikit memar di pergelangan tangannya akibat tekanan yang diberikannya.

Oh, Dante akan menyesali hal itu nanti.

The Devil ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang