Chapter 26

796 38 2
                                    

Semua orang punya rahasia mereka masing – masing. Dante bukanlah pengecualian. Ada sebuah rahasia yang selama ini berusaha ia sembunyikan dan kubur dalam – dalam. Sebuah memori lama yang seharusnya sudah menghilang ditelan waktu, namun apa yang ombak waktu dapat ambil, ia dapat kembalikan pada waktunya...

Eve sedang bersiap – siap untuk berkunjung ke apartemen Dante. Ia terlihat sangat cantik dengan gaun khusus yang sengaja ia beli untuk kunjungannya itu. Ya, ia tahu memang tidak akan ada yang melihat dirinya kecuali Dante sendiri. Namun ia tetap ingin terlihat cantik dan sempurna. Gaun itu adalah gaun backless yang jatuh tepat di atas lutut, warnanya merah darah yang cocok dengan warna kulitnya. Walaupun Eve berkulit putih, namun dasar kulitnya hangat, jadi warna tersebut sangat cocok dengannya, membuatnya tampil menarik dan lebih hidup. Ia tidak memakai banyak perhiasan karena ia merasa tidak perlu. Ia juga hanya memakai sepatu heels rendah warna hitam dan tas kecil yang berisi dompet dan handphonenya. Itu saja, sisanya pasti disediakan oleh Dante.

Lima menit yang lalu Dante sempat meneleponnya, menanyakan kabar dan keberadaannya, Eve mengatakan bahwa ia masih bersiap – siap dan ia akan sampai di sana sekitar tiga puluh hingga empat puluh menit lagi. Dante terdengar tidak sabar dari cara bicaranya namun ia berusaha menahannya karena bagaimanapun Dante mengerti, bahwa seorang wanita membutuhkan waktu untuk tampil cantik dan ia juga akan menikmati hasilnya nanti, jadi ia tidak berhak menggerutu.

Setelah selesai berdandan ia memakai parfum beraroma jasmine dan tuberose yang menggairahkan. Eve tidak ada rencana untuk menggoda Dante sama sekali, ia tahu bahwa mereka berdua hanya akan makan malam saja, setidaknya itulah rencana yang dikatakan oleh Dante, tetapi ia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nantinya. Jadi lebih baik berjaga – jaga daripada tidak sama sekali, bukan?

Dante sudah memesankan taksi untuknya dan sekitar tiga puluh menit kemudian Eve tiba di tempat Dante. Pria itu sudah menunggunya di lobby untuk menjemputnya. Dante tinggal di penthouse yang terbilang cukup mewah di sana, sehingga cukup sulit untuk mendapatkan akses tanpa izin dari sang pemilik kamar. Sedikit berbeda dari Eve. Jika Dante bisa mendapatkan akses ke tempat Eve dengan mudah, sangat sulit bagi Eve untuk mendapatkan akses ke tempat Dante.

Walaupun hanya di tempatnya, namun Dante menganggap serius kencan mereka, dapat dibuktikan dengan penampilannya yang rapi. Ia juga wangi, aromanya tercium seperti kopi dan cedarwood. Dante tidak membuang waktu, ia langsung menghampiri wanita itu dan mengalungkan lengannya di bahu Eve. Dante sangat merindukan wanita itu, sudah lama ia tidak bisa menyentuhnya, hampir – hampir Dante menjadi gila karenannya.

Eve tersenyum melihat Dante, terlihat jelas bahwa mereka berdua sama – sama menaruh effort terbaik mereka untuk terlihat menarik. Itulah satu hal yang Eve sukai dari Dante. Walaupun terkadang emosinya bisa meledak – ledak, namun ia selalu tahu aturan dalam berpenampilan, suatu hal yang ia pelajari, bahwa penapilan dapat menambah kesan yang ingin kau tampilkan. Menjadi dirimu sendiri adalah ide terburuk yang bisa orang lain lakukan.

Dante membawa Eve ke penthousenya untuk pertama kaliny. Eve sedikit terkejut karena tempat Dante sangat bersih dan rapi. Ia tidak tahu apakah ia sengaja merapikannya karena Eve akan datang kesana ataukah memang tempatnya selalu seperti itu setiap saat namun terlihat jelas bahwa ia sudah mempersiapkan penthousenya untuk kedatangan Eve.

Semua orang dapat melihat bahwa Dante mempersiapkan semuanya dengan baik, ia memimpin Eve ke ruang makannya dan alangkah terkejutnya wanita itu ketika ia melihat bahwa meja makannya sudah disulap menjadi meja makan ala restoran berbintang Michelin dengan kain putih panjang yang menutupinya dan aransemen piring, garpu dan pisau yang ditata dengan rapi. Di tengah meja makan terdapat sebuah vas dengan rangkaian bunga berwarna merah, terdapat lilin – lilin yang menyala di sekelilingnya, menambahkan kesan yang romantic, terdapat sebuah serbet juga yang diletakan di atas piring dan terlihat seorang chef baru saja keluar dari dapur dengan sebuah piring yang berisi makanan yang telah dibuat khusus untuk mereka berdua. Masing – masing sudah dibuat sesuai porsi masing – masing.

Dante menarik kursi untuk Eve duduk sebelum ia sendiri duduk di kursinya. Eve sedikit terbelalak melihat jumlah makanan yang ada di sana karena walaupun porsinya tidak banyak namun banyak varietas yang disediakan.

"Aku tidak tahu kau sedang ingin makan apa, jadi aku minta chef itu untuk memasak beberapa jenis menu, sekarang kau hanya tinggal pilih saja apa yang ingin kau makan." Katanya. Eve hanya tersenyum sambil membuka serbetnya, menaruhnya di pangkuannya sebelum makan dan meletakan tas kecilnya di atas tatakan serbet tersebut. Ia mulai mencicipi hidangan yang disediakan dan mereka mulai mengobrol.

Banyak hal yang dapat mereka bicarakan, karena dalam dua minggu saja sudah terdapat banyak hal yang terjadi di antara mereka. Tentu saja, mereka tidak dapat bertemu dan komunikasi yang ada hanya berlangsung dengan cukup singkat. Walaupun demikian, mereka berdua tetap dapat teratwa layaknya sepasang kekasih.

Di tengah – tengah makan malam mereka, tiba – tiba Dante memandangi Eve. Ia menghentikan tangannya dan menatap wanita itu dalam – dalam. Eve yang tadinya tertawa menghentikan tawanya dan menatap Dante kembali, wajahnya terlihat bingung namun Dante tidak menghentikan senyuman terlepas dari bibirnya.

"Apakah ada sesuatu di wajahku?" Tanya Eve. Ia menyentuh pipinya dan area sekitar bibirnya untuk melihat apakah ada sesuatu yang menempel. Dante hanya menggelengkan kepalanya pelan lalu mengambil tangan wanita itu.

"Katakan padaku, Eve. Apakah kau merasa senang saat ini?" Eve menganggap pertanyaan Dante tersebut cukup aneh. Apa maksudnya menanyakan apakah Eve senang? Tentu saja wanita itu senang. Bagaimana tidak? Saat itu ia sedang bersama Dante. Pria itu sedang memperlakukannya dengan baik dan ia sedang tertawa. Jadi tentu saja ia senang.

Mendengar jawaban Eve, senyum Dante melebar, ia mengelus pelan punggung tangan Eve dan menciumnya sebelum berkata.

"Syukurlah, asalkan kau senang. Itu membuatku senang juga." Katanya singkat. Seketika senyman di wajah Eve memudar. Ia tidak tahu kenapa, namun mendengar kata – kata tersebut keluar dari bibir Dante membuat sesuatu di dada Eve bergerak.

Bagaimana mungkin seseorang bisa menjadi sangat kasar namun lembut dan penyayang di saat yang bersamaan?

Eve menarik tangannya lalu berdiri, ia berusaha untuk tersenyum namun hatinya terasa sangat kacau, entah kenapa ia memiliki perasaan seperti itu. Sepertinya Dante juga menyadari hal ini, ia bertanya kepada Eve apakah ada sesuatu yang salah. Eve hanya menggelengkan kepalanya lalu menatap Dante kembali. Gestur tubuhnya terlihat sedikit panik namun otaknya cepat – cepat memikirkan alasan untuk menenangkan dirinya, yang tidak bisa dilakukan di depan pria itu.

"Um, sepertinya aku harus ke belakang, jika aku boleh tahu, dimanakah toiletmu?" Dante tidak ingin berpikir terlalu banyak. Ia memberitahu Eve letak toiletnya lalu wanita itu segera beranjak dari ruang makan. Ia sangat deg degan. Hatinya berdegup dengan sangat kencang. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi kepada dirinya namun apapun itu, Eve tidak begitu menyukainya.

Perasaan itu berbahaya.

Karena saking paniknya, pikirannya tidak dapat mengingat petunjuk yang diberikan oleh Dante dan ia tidak tahu dimana letak toiletnya, akhirnya ia memutuskan untuk mengikuti kata hatnya dan membuka salah satu pintu yang berada di lantai dua.

Eve tidak tahu, bahwa pintu yang dibukanya itu, tidak lain adalah kamar tidur Dante.

The Devil ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang