35 : The truth ( 2/2)

9.8K 2.2K 397
                                    



***

Bruk!

"Pergi saja dari sini, kau kira rumahku ini panti asuhan?!"

"Dasar gelandangan tak tau diri!"

Jaemin yang sedari tadi berdiri di ambang pintu dengan wajah melasnya segera memungut barang-barang yang dilemparkan oleh si pemilik rumah yang disewa oleh Jaemin dan ayahnya.

Bocah mungil itu memungut satu-persatu barang-barang sederhana miliknya dan milik ayahnya yang saat ini posisinya masih kukuh-berlutut pada si pemilik bangunan, berharap dirinya dan Jaemin tak diusir karena telat membayar sewa lima bulan.

"Aku mohon Irene, hanya satu bulan dan zemua hutang-hutang sewaku akan kubayar."

"Kau berkata seperti itu lebih dari tiga kali tapi kau selalu mengingkarinya tolol!"

Irene, pemilik bangunan tua yang ditinggali oleh Jaaemin dan ayahnya, dengan atap yang mulai reot dan tembok yang berlumut, si perempuan dengan tak tau diri menaikkan sewa tiga kali lipat dari biaya asal, menekan ayah Jaemin supaya membayar sewa lebih banyak lagi.

"Pergilah, jangan memegangi kakiku, sialan!" Irene menendang kedua tangan ayah Jaemin yang memegangi betisnya.

Ayah Jaemin tersungkur, memasrahkan saja dirinya ketika Irene menendangnya cukup kuat, membuat sang putra tak terima dan buru-buru merangkul ayahnya.

"Bibi, kami akan pergi tapi tidak usah menendang ayahku seperti itu." Ucap Jaemin, memandang Irene yang melipat tangan angkuh, tak memedulikan pemandangan dramatis di hadapannya.

"Pergi saja aku tidak peduli!" Irene dengan cepat menutup pintu rumah tempat Jaemin tinggal, membawa kucinya lantas beranjak pergi, meninggalkan Jaemin dan ayahnya yang terduduk di teras rumah.

"Ayah tidak apa-apa?"

Ayahnya buru-buru menggeleng, "tidak ayah tidak apa-apa. Jaemin sendiri apa ada yang terluka hm?" Bohong, ayahnya pasti sangat sedih. Bahkan matanya berkaca-kaca, namun ia tahan di hadapan sang anak.

"Tidak, Jaemin tidak apa-apa." Jaemin berbicara samar, ia berfikir sangat jauh-ayahnya akan tidur di mana nanti.

"Maaf ya, gara-ara ayah kita jadi diusir seperti ini."

"Tidak, ini bukan salah ayah. Itu salah penyihir berpayudara besar tadi, dia menaikkan sewa padahal rumahnya reot seperti kandang kuda."

Jaemin membantu sang ayah berdiri, walau ia tau tenaganya tak akan sebanding dengan bobot tubuh sang ayah.

"Ayo ayah kita pergi dari sini."

"Maaf ya Nak, untuk beberapa hari ke depan kita akan bermalam di sauna."

Jaemin tersenyum lugu, "tidak apa-apa. Itu lebih baik daripada kita harus tertidur di jalanan."

Inilah kehidupan Jaemin sehari-hari. Berusaha terlihat tegar, walaupun banyak masalah yang menimpa dirinya.

Ia masih kecil, namun sikapnya dituntut harus dewasa walau belum waktunya. Jaemin sadar, jika ia terus bersikap kekanakan, maka tak akan ada yang menenangkan ayahnya jika beliau bersedih. Ibunya sudah lama meninggal, dan hanya Jaemin lah satu-satunya keluarga yang dipunyai oleh ayahnya.

"Demi ayah, Jaemin harus kuat."

***

"A-apa itu akan baik-baik saja?"

Apart to come | Jaeyong [✓]Where stories live. Discover now