Bagian 19 | Artinya Tak Berjodoh

1.5K 288 9
                                    

Jodoh tidak kemana. Kita lah yang enggan mengakui dia ada di dekat kita

"Bapak nggak yakin membiarkan kamu melakukan ini, Va."

"Nggak apa-apa, Pak. Aku sangat jago naik motor." Eva sudah bersiap di atas motor matic Pak Umar dengan helm berlogo merek motornya.

"Tapi kan kamu sudah lama nggak naik motor."

"Bapak tenang saja, pokoknya nanti aku nanti akan pulang dengan selamat." Ujar Eva sebelum menarik gas motor dan menauhi rumah Pak Umar.

Langit hari ini sangat cerah, udara pagi menjelang siang masih terasa hangat dan tidak menyengat sama sekali. Jalanan ramai seperti biasa, orang-orang masih sibuk kesana kemari, entah kemana tujuannya serta apa sebenarnya yang dicari. Eva berkendara tanpa tujuan, yang jelas jalanan yang dilewatinya adalah jalan yang hampir setiap hari ia tempuh dulu.

Eva minggir ke kiri dan menurunkan kecepatan ketika motornya akan melintasi gerbang SMA tempatnya dulu bersekolah, selain pohon-pohon perindang yang makin lebat, bangunan dan bahkan warna catnya masih sama.

"Mobil baru kok masih telat." Eva berbisik di tengah pembacaan UUD '45 oleh petugas upacara bendera hari senin. Ia dan beberapa siswa yang datang terlambat berbaris di barisan terpisah yang menghadap timur.

Saga di sebelahnya melirik Eva sekilas, lalu menundukkan kepalanya lagi menghindari paparan sinar matahari yang menyengat langsung. "Juara kelas kok telat."

Eva mencibikkan bibir. "Aku cuma telat satu menit ya, Pak Sandi saja yang lebay nggak mau toleransi. Padahal baru sekali ini aku terlambat."

"Biarpun sedetik tetap saja terlambat ya terlambat."

"Tapi nggak apa-apa, jadinya kita bisa berdiri sebelahan begini." Canda Eva. "Senin depan, kalau kita terlambat bareng lagi artinya kita berjodoh."

"Orang sinting."

Mereka tidak berjodoh karena senin depannya, Saga berdiri di barisan kelas, sementara Eva berdiri di barisan menghadap timur dengan lima orang lain yang terlambat masuk.

Kilas balik berakhir ketika motor Eva sudah melewati sekolah. Beberapa menit kemudian ia melewati toko ponsel tempatnya bekerja terakhir, tokonya sudah jauh lebih bagus sekarang. Banner-banner berbagai merk ponsel terpasang, sales-sales berkeliling meyakinkan pembeli untuk membeli merek mereka. Karena jika mereka tidak memenuhi target penjualan, artinya mereka harus puas dengan gaji di bawah upah minimum daerah untuk dibawa pulang bulan depan.

"Mau cari handphone yang seperti apa, Kak?" Eva membuntuti sepasang anak muda seusianya yang baru memasuki toko dan berkeliling dari satu counter ke counter lain. "Boleh dilihat-lihat dulu brosurnya, kita—"

"Kita mau lihat-lihat dulu ya, Mbak."

"Silahkan, Kak." Eva masih mengikuti mereka. "Kakaknya mau cari handphone buat siapa? Kalau untuk Kakak sendiri, saya sarankan yang tipe Z-212 ini. Dia memiliki kamera depan 19 MP,  RAM 64 GB jadi bisa muat menyimpan foto banyak."

"Saya cari handphone, Mbak. Bukan kamera."

"Oh, kalau begitu—" ucapan Eva terpotong oleh teriakan si perempuan yang gelas kopinya terjatuh ke lantai hingga mengenai kakinya yang mulus. Eva terperangah, bagaimana itu bisa terjadi?

"Mbak ini bisa kerja, nggak sih? Customer bukannya diberi kenyamanan malah terus diganggu. Lihat, kamu sampai menyenggol mimuman saya."

Semua orang melihat ke arah mereka, meski tidak benar-benar yakin ia telah menyenggol gelas minuman itu, Eva tetap menunduk dalam dan mengucapkan maaf berkali-kali.

[COMPLETE] EVARIA - Memihak Diri SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang