Bagian 22 | Jalan yang Dipilih Evaria

1.4K 254 5
                                    

Pilihanmu hari ini adalah yang akan terjadi esok hari. Sekarang atau tidak sama sekali


Eva mematung di depan pintu kamar kostnya yang masih terkunci padahal ia hanya perlu memutar kunci sekali untuk membuatnya terbuka. Pulang harusnya menjadi tujuan melepas semua beban, sebelum menyandangnya lagi keesokan hari. Tetapi bagi Eva, pulang atau pergi sama saja. Sama-sama meresahkan.

Setiap hari ia berangkat kerja dengan keresahan, apa bisa ia menjual satu saja perangkat ponsel. Pulang pun ia tidak bisa beristirahat dengan tenang memikirkan bagaimana ia membayar sewa kamar sempit ini bulan depan?

"Kenapa nggak masuk?" Saga tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya, lelaki berdecak karena Eva hanya memandanginya tanpa bergerak, ia pun menggeser tubuh Eva dan memutar kunci pintu.

Saga masuk ke kamar Eva lebih dulu, menghidupkan lampu dan membuka jendela, memberi ruang perputaran udara. Saga meletakkan kantong-kantong plastik makanan di lantai karena selain kasur lusuh, lemari papan tanpa cermin, dan satu meja untuk menaruh hampir semua barang, Eva tidak memiliki prabotan lain. Sebuah hiasan bunga palsu ditaruh di atas meja itu, sebuah usaha sia-sia untuk menghidupkan kamarnya.

Saga membuka makanan-makanan yang dibelinya sebelum ke sini, Saga berdalih tidak enak makan sendiri, makanya ia membungkus semuanya dan membawanya ke kost Eva. Dan itu membuat Eva malu, namun di sisi lain takut menyuruh Saga pergi. Karena kalau Saga pergi, ia tidak memiliki siapa-siapa lagi.

Eva mengganti seragamnya di kamar mandi dengan pakaian rumahan yang sudah dipakainya bertahun-tahun, ia duduk sedikit menjauhi Saga. "Kamu mau makan di atas kasur? Sini, nanti kalau berceceran jadi sarang semut."

Eva menatap punggung Saga. Ia beuntung memiliki teman sepertinya. "Terima kasih, Ga... lagi." Saga datang tepat saat Eva dicegat masuk oleh pemilik kost yang menagih sewa bulanan yang jatuh tempo tiga hari, dia memberi ultimatum sampai besok sore belum dibayar, Eva harus angkat kaki. Tanpa terduga Saga mengeluarkan sebagian uang dalam dompetnya dan pemilik kost itu pun diam. "Gajiku terlambat masuk, jadi aku belum pegang uang untuk bayar. Harusnya besok sudah masuk, aku akan langsung mengganti uangmu."

"Iya, jangan khawatirkan itu." Bagi Saga uang sejumlah itu tidak seberapa. Orangtuanya cukup kaya untuk memberinya jatah bulanan melebihi gaji karyawan biasa. "Kemarilah. Aku nggak malu punya teman pecandu narkoba, daripada pecandu mylanta."

Sering kali Eva hanya mengisi perutnya di siang hari atau kalau sangat kelaparan ia akan membeli makanan manis untuk dimakan malam hari. Tubuhnya makin kurus tanpa disadari. Seseorang bercanda postur tubuh Eva sangat cocok untuk jadi model. Padahal Eva tahu itu semata-mata hanya ejekan santun.

Setelah makan, mereka berbaring bersisihan berbantalkan pinggiran kasur, menatap langit-langit kamar Eva yang menguning dan ada bekas rembesan air ketika hujan deras. "Kapan ya aku bisa kaya?" gumam Eva.

"Jangan pikirkan kaya dulu, tapi kamu bisa apa untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji lebih besar."

"Aku nggak bisa apa-apa, nggak punya apa-apa, nggak punya siapa-siapa juga."

Saga hanya melirik Eva sekilas. "Jangan putus asa dulu. Pasti ada sesuatu yang bisa kamu lakukan."

Bagaimana Eva tidak putus asa. Ia hanya lulusan SMA tanpa memiliki keahlian tertentu, ia berhenti kuliah di tahun ke dua dengan nilai pas-pasan. "Satpam toko bilang, kalau mau cepat kaya ya main pesugihan, jadi koruptor, atau jadi artis. Katanya, dia punya tetangga yang baru beberapa bulan jadi penyanyi dangdut langsung bisa beli rumah dan segala macam. Apa aku jadi artis saja, ya?"

"Jadi artis seperti apa dulu?" tanya Saga bernada sangsi. "Penyanyi dangdut seperti orang itu, pelawak yang nggak perlu punya urat malu, atau apa?"

[COMPLETE] EVARIA - Memihak Diri SendiriWhere stories live. Discover now