Epilog

3.7K 417 91
                                    

Tidak ada akhir bahagia sebab kebahagiaan tidak seharusnya berakhir

Bali selalu menjadi tempat pelarian terbaik, persis seperti yang selama ini digambarkan di film-film atau buku, dimana tokoh utama akan menjadikan tempat itu sebagai tempat rehat.

Bali memiliki semuanya. Sinar matahari, pantai, gunung, udara sejuk, makanan lezat, filosofi hidup yang melekat pada masyarakatnya, dan tentu saja penerimaan.

Dibantu seorang kenalan, Eva menemukan sebuah villa kecil yang terletak di Bali bagian timur yang memiliki udara sejuk. Butuh waktu penyesuaian cukup lama bagi Eva untuk kembali percaya diri berbaur dengan masyarakat. Ia takut mendapat penghakiman, atau parahnya dikucilkan. Namun seseorang meyakinkan Eva bahwa ia di sini bukan untuk mengasingkan diri, melainkan menata kehidupan baru.

Suara alarm jam dibiarkan Eva berdering-dering sampai berhenti sendiri, lima menit kemudian alarm itu kembali berdering, dan begitu seterusnya lantaran orang yang sengaja memasang alarm itu punya kebiasaan tidur seperti mayat. Dua tahun hidup bersama membuat telinga Eva sudah terbiasa dengan berbagai keributan yang orang itu buat.

Dengan tekun Eva merangkai manik-manik yang terbuat dari batu alam dengan motif khas, menjadi kalung yang unik namun elegan. Eva bisa membayangkan kalung ini akan menjadi pelengkap sempurna gaun hitam sederhana.

“Eva, ada sarapan apa?”

Eva mendongak pada teman serumahnya itu, dengan mata masih setengah terbuka Mira menggaruk-garuk rambutnya. Orang itulah yang mengingatkan Eva bahwa ini bukan goa persembunyian. “Jam segini lebih cocok disebut makan siang,” beritahu Eva barangkali Mira lupa melihat jam yang sudah pukul 12 siang.

“Aku semalam nulis dapat 10.000 kata, tumben otakku seencer itu. Makanya aku begadang.”

“Mir, tapi kamu begadang setiap hari.”

“Iya, tapi yang semalam begadang bermanfaat.” Mira bela diri. “Jadi, bisa nggak kamu majukan jam makan siangmu? Aku lagi nggak ingin makan roti gandum doang,” bujuk Mira.

Eva menghela nafas. Tak lama sejak kepindahan mereka ke kota ini, Mira iseng memposting novel di sebuah platform online. Dia tekuni satu per satu bab meski yang membaca hanya beberapa orang. Dia tidak merasa waktunya terbuang sia-sia, dia mengaku bisa menyelesaikan novelnya saja rasanya seolah ia baru saja mencapai mimpi masa kecilnya.

Mendapat kesenangan dari hobby itulah yang ingin dirasakan Eva juga, ia berpikir keras apa kira-kira hal yang sangat ia sukai atau ingin dilakukan. Tanpa sengaja ketika Eva sedang berjalan-jalan di deretan pertokoan kawasan wisata, ia melihat sebuah butik aksesoris dari batu alam yang sangat menarik. Ternyata butik itu juga rutin mengadakan workshop bagi para turis, Eva langsung mendaftar dan mempelajarinya. Kegiatan itu Eva tekuni sampai sekarang, bahkan iseng-iseng Eva menjualnya secara online dan ternyata ada saja peminatnya.

“Ya sudah sebentar, ini sedikit lagi selesai,” jawab Eva yang sulit menolak permintaan Mira. “Kamu tunggu sambil makan buah saja.”

“Itu apa? Gelang pasangan?” tunjuk Mira pada yang Eva kerjakan.

“Gelang pasangan?” Eva melihat sebuah gelang yang sudah jadi dan satunya sedang ia kerjakan. Gelang itu tersusun dari manik-manik berdiameter kecil, Eva berpikir ini bisa dipakai bersamaan di satu tangan jadi memiliki efek bertumpuk. Eva pun tak berniat menjuanya, ia ingin memakainya sendiri. “Bukan," jawabnya.

[COMPLETE] EVARIA - Memihak Diri SendiriWhere stories live. Discover now