Bagian 24 | Tak Ingin Melepaskan

1.5K 332 13
                                    

Kita melakukan banyak penyangkalan untuk menyangkal kemunculan rasa yang tidak masuk akal. Harus ada satu yang gila untuk meyakinkan, sebab jika tidak, kita tidak akan pernah mengenal apa itu cinta.

Entah ada yang mengajari atau aslinya Erina memang seperti ini. Erina menggunakan semua cara untuk memukul Eva. Mulai dari mengambil semua orang-orang Eva, membangun image tuan putri, hingga memanfaatkan Saga untuk mempermainkan emosinya.

Eva menyeruput sedikit demi sedikit cairan kopi dalam cangkir yang suhunya perlahan turun. Hal terpenting yang harus dilakukannya adalah tetap tenang, jangan sampai ia terpancing dan masuk ke permainan Erina. Eva hanya perlu fokus pada tujuannya sendiri.

Dan tentang Saga, seperti halnya kopi di tangannya, jika didiamkan lama-lama, geloranya akan pudar dengan sendirinya. Meski mungkin rasanya masih akan menempel di lidah, untuk mencegah keinginan mencicipinya lagi, Eva hanya harus membangun sugesti kebencian dari dalam diri. Baginya tidak sulit untuk membenci seseorang, Eva hanya perlu selalu melihat sisi buruk orang itu.

Cinta? Itu adalah kata paling menggelikan yang pernah didengar Eva dari bibir Saga. Eva membuat keputusan tepat dengan tidak percaya. Buktinya, secara suka rela Saga membantu Erina untuk menhancurkan Eva.

Bagus, Evaria. Susesti dirimu seperti itu terus.

Eva mendongak saat seseorang tiba-tiba berdiri di sisi mejanya. Wajah dalam benaknya, melompat keluar jadi nyata di depan matanya.

“Ikut aku—“

Eva menepis tangan Saga yang hendak meraih tangannya. “Apa-apaan, sih?” Ini baru beberapa menit sejak Saga dan Erina pergi, jika Saga di sini, lalu Erina dimana? “Kenapa kamu di sini? Bukannya kamu...” Eva mengatupkan bibir, menyadari dirinya terkesan terlalu ingin tahu.

“Aku menurunkan Erina di jalan.”

“Apa?”

“Iya, aku bajingan. Tapi aku harus melakukan itu sebelum menyesali lebih banyak hal. Aku takut setelah ini, aku benar-benar akan kehilangan kamu,” decak Saga frustrasi.

Bibir Eva menipis geram. Saga selalu mengacaukan usaha Eva meredam perasaannya dengan sikapnya yang datang dan pergi. “Apa ini bagian dari rencana Erina?”

“Apa?” Tubuh Saga melemas duduk di kurai depan Eva. Ia berlari jadi bajingan ke sini karena tidak ingin menjadi bagian rencana Erina, dan Eva menuduh sebaliknya. “Kamu mandang aku serendah itu, Va?”

“Lalu apa? Kalian selalu sengaja muncul berdua di depanku untuk memanas-manasi aku, kalian akhirnya sadar kalau aku nggak terprngaruh, jadi kalian mengubah rencana.”

“Sebelum kamu berpikir apa-apa tentang aku, bisa kamu dengarkan aku dulu?” tanya Saga tenang.

Eva mengangkat dagu. “Katakan.”

Saga melirik suasana kafe yang menjelang petang makin ramai. “Tidak di sini.” Dari cara menghela napas, Saga tahu Eva keberatan. “Aku janji ini benar-benar akan jadi yang terakhir. Kalau setelah mendengarkan aku pikiranmu tentangku tetap sama, aku tidak akan muncul lagi di hadapan kamu.”

Beda saat sebelumnya Saga mengatakan hal serupa, kali ini lebih terdengar serius karena Saga mengatakannya nyaris tanpa emosi. Eva pun mengangguk setuju. Ia akan membandingkan, dibanding membenci dan mempercayai Saga, sekiranya mana yang lebih mudah dilakukan.

***

Untuk sekadar mencari tempat bicara, Saga membawa Eva berkendara cukup jauh. Tepat saat mereka akan pergi dari kafe, Lala datang untuk menjemput Eva. Setelah Saga memastikan langsung pada Lala jadwal Eva sepanjang sisa hari ini, Saga berkata ia yang akan mengantar Eva pulang.

[COMPLETE] EVARIA - Memihak Diri SendiriWhere stories live. Discover now