01.ㅣSi Pemilik Ketapel

4.5K 312 17
                                    

Tiga gadis berumur lima belas tahun terlihat tengah bersembunyi di balik tumbuhan teh-tehan yang tingginya mencapai kening mereka. Tumbuhan sebagai pagar itu menjadi pembatas  halaman sebuah pendopo kerajaan. Ketiga gadis itu mengenakan jarik yang dililit oleh sebuah kemben di perut hingga dada mereka, serta selendang hijau yang tersampir di pundak salah satu gadis yang berpenampilan seorang putri keraton.

"Dewi, apa kita tidak apa-apa mengintip kegiatan putra mahkota?" Laksita, gadis bertubuh tinggi dengan kulit sawo matang itu berbisik cemas, takut jika ada orang yang memergoki mereka dan berakhir terkena hukuman.

"Sustt... Diamlah, Laksita. Apa kau tidak ingin melihat putra mahkota? Dia tampan sekali," sahut Arunika dengan pandangan setia di depan, tepat ke arah remaja laki-laki yang tengah duduk di tengah-tengah pendopo.

Sudewi tersenyum dan mengangguk setuju dengan ucapan Arunika. Sang putra mahkota memang sangatlah tampan bak titisan Dewa Wisnu. Semua orang tahu itu.

Tuk!

Sudewi memegangi kepala bagian belakang ketika merasakan ada sebuah benda kecil tapi keras mengenainya. Segera gadis berkulit kuning langsat itu berbalik, mencari sang pelaku.

Dengan bibir yang mendesis dan tangan terkepal, Sudewi menatap sebal ke seorang lelaki sepantarannya yang tengah berjalan mendekat. Sebuah ketapel yang berada di genggaman tangan kanan laki-laki itu tentulah menjadi bukti bahwa ialah sang pelaku dari kejadian yang menimpa Sudewi barusan.

Laki-laki itu bernama Abimana yang merupakan anak seorang kusir di Keraton Daha. Abimana adalah satu-satunya orang yang paling berani dan paling sering menjahili putri dari Bhre Wengker, Sri Sudewi.


"Sampai kapan kau akan terus menjahiliku?" Sudewi berkacak pinggang dan menatap tajam Abimana yang berdiri di hadapannya.

Abimana tersenyum tanpa dosa. "Mungkin sampai kau menikah denganku, Dewi."

Sudewi mendelik. Sama sekali tidak suka dengan ucapan Abimana barusan.

"Aku hanya bergurau," tambah Abimana yang semakin membuat Sudewi sebal. Lelaki itu lalu beralih menatap Laksita dan Arunika. "Kalian sedang melihat apa?"

"Kami sedang melihat Putra Mahkota Hayam Wuruk yang sedang belajar. Lebih baik kau pergi, Abimana. Jangan ganggu kegiatan kami!" cetus Arunika sambil mengibaskan telapak tangan kanannya, mengusir. Gadis berkemben hitam itu kemudian kembali memandangi Hayam Wuruk yang tengah membaca beberapa lembar lontar di pendopo. Di dekat laki-laki berpakaian khas seorang bangsawan tersebut, terlihat pria paruh baya yang merupakan guru Hayam Wuruk.

Abimana mendengkus. "Kenapa kalian tidak menatapku saja? Aku tidak jauh berbeda darinya. Tampan dan punya otot. Lihatlah!" Abimana mengangkat tangan kanannya, memperlihatkan ototnya yang masih kecil karena baru remaja. Laki-laki itu memasang eskpresi penuh percaya diri.

"Lebih baik aku melihat otot ikan daripada ototmu," sahut Arunika sambil memandang Abimana tanpa minat.

"Memangnya ikan punya otot?" tanya Laksita bingung.

Arunika berdecak. Salah satu matanya berkedip, mengisyaratkan bahwa itu hanyalah candaan saja. Bagaimana bisa Laksita menganggapnya serius.

Mengabaikan pertengkaran Abimana dengan Arunika, Sudewi kembali melirik Hayam Wuruk. Namun, tak lama kemudian, kegiatannya itu terganggu kala mendengar suara seseorang.

PadukasoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang