Chapter 26

11.5K 1.9K 294
                                    

"Kalian tadi berangkat bareng?" Bobby bertanya sambil mengunyah dimsum. Menunjuk Baim dan Sheila secara bergantian dengan sumpit.

Meira tidak terlalu kaget karena sudah pernah lihat. Pun saat pulang, tak jarang mereka berdua sesekali mampir makan ke mana. Seperti tadi malam. Meira masih di dalam mobil ketika melihat Baim masuk ke mobil Sheila.

"Kenapa nggak pacaran aja kalian?"

Sheila refleks melotot tajam ke arah Meira. Sementara Baim menanggapi santai. "Lo nggak tahu aja, Mei, siapa saingan gue."

Bobby bertanya penuh antisipasi. "Siapa emang?"

"Nanti juga tahu sendiri. Nggak asyik kalau gue kasih tahu segampang itu."

Meira malas menebak siapa. "Jadi lo beneran suka Icel?"

Baim mengangguk dengan mudah. "Kalian kaget nggak? Kaget dong pasti. Ya, 'kan?"

"Nggak." Bobby dan Meira menjawab bersamaan, membuat Baim mendecak dan malas membahas lebih lanjut. Mereka sepertinya juga tidak tertarik. Sekentara itukah perasaan Baim ke Sheila? Padahal Sheila sendiri tidak peka.

Mereka melanjutkan makan siang dengan tenang. Sheila menatap Bobby dan Meira bergantian, membayangkan bagaimana jika mereka tahu soal dirinya dengan Rama. Lalu beralih ke Baim yang duduk di sebelahnya. Lelaki baik tapi bodoh karena menyukai seseorang yang jelas-jelas masih hidup di masa lalu.

Sheila baru menyuarakan isi kepalanya saat mereka meninggalkan kafetaria dan naik lift. Hanya berdua, karena Meira masih menemani Bobby mencari camilan di minimarket.

"Lo nggak marah sama gue, Im?"

"Kenapa mesti marah?"

Sheila meralat. "Bukan marah, tapi kecewa?"

"Kecewa juga nggak. Lo udah milih, 'kan? Gue nggak ada di daftar pilihan yang lo buat. Mau gue kasih opsi kayak gimana pun, lo tetap milih untuk nungguin si kampret itu."

Sheila tertawa pelan mendengar ujung kalimat.

"Tapi gue pengin jadi opsi lo yang kedua, Cel. Ketiga atau keempat juga nggak masalah. Suatu hari, kalau lo butuh tempat pulang, gue masih ada di tempat yang sama. Nggak bakal susah nyarinya."

"Gue nggak mau bikin lelaki sebaik lo nunggu, Im. Apalagi hal yang nggak pasti kayak gini." Sheila menyandar di dinding lift. "Suatu hari nanti, daripada nunggu gue, lo harus udah nemu perempuan baik-baik buat jadi pendamping hidup. Itu bakal bikin gue bahagia."

"Lalu apa yang bikin lo rela nunggu Rama lebih dari lima tahun?"

Lift terbuka di lantai Sheila.

"Karena lo merasa dia pantas untuk ditunggu." Baim bantu menjawab saat melihat keterdiaman Sheila. "Sama. Lo juga pantas untuk gue tunggu."

"Tapi beda. Lo belum terlambat buat ngelupain gue."

Baim mengangguk, entah untuk yang mana. Ketika Sheila akan bicara lagi, Baim mendorong pelan punggungnya agar keluar dari lift.

"Gue belum selesa-i." Pintu lift telanjur menutup.

***

Syuting dimulai di hari ketiga mereka di Bali. Sebagian besar mengambil spot di tempat yang tidak terlalu banyak pengunjung. Kru produksi benar-benar memperhatikan kondisi Rama. Berterima kasih kepada Andra yang sudah cerewet menjelaskan detail soal bahu artisnya yang perlu perhatian lebih. Baik sebelum mereka berangkat ke Bali, dan bahkan di lokasi syuting pun, Andra dengan ketat mengawasi.

Rama sebenarnya sedikit geli dengan kelakuan Andra. Dia sudah berpesan agar jangan berlebihan. Tapi semakin dilarang, semakin dilakukan.

"Udah minum obat?"

AFTERTASTE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang