Chapter 6

15K 2.1K 73
                                    

Sepertinya Sheila sudah kehilangan waras saat membiarkan lelaki itu memeluk dan menahan kepergiannya malam itu.

Dua hari sudah berlalu dan Sheila menjadi kacau. Mendadak Rama muncul di mana-mana. Kaca westafel, pantulan pintu kulkas, jendela—dan sekarang, saking delusinya, dia sampai membayangkan yang berdiri di sampingnya adalah Rama dan bukannya Bobby.

"Kamu mau langsung pulang?"

"Hm?" Sheila mendadak linglung. Ini jelas bukan suara Bobby. Dia kemudian mengusap wajah. Dua hari ini dia kembali insomnia. Mungkin karena kurang tidur dia jadi makin berhalusinasi.

"Nggak bawa mobil?"

Sheila menyingkirkan tangan dari wajah. Apa dia perlu cuci muka sekarang? Dua hari sudah cukup melelahkan dengan pekerjaan di kantor, belum lagi pola tidurnya yang berantakan, dan sekarang dia harus memikirkan Rama—dasar mantan sialan!

Sekian detik, Sheila memejamkan mata. Merutuki diri sendiri. Jelas-jelas yang berdiri di sampingnya memang Rama. Sejak kapan Bobby akan bicara dengan nada seperti itu padanya?

"Kamu belum jawab pertanyaanku."

Sheila membuka mata dan tetap menghindari kontak mata. Dia ditanya soal apa tadi? "Apa?"

Rama dengan sabar mengulangi. "Kamu nggak bawa mobil?"

Masih berusaha dingin. "Nggak."

"Mau bareng? Andra bentar lagi sampai."

"Nggak usah." Tanpa mau tahu kenapa lelaki itu bisa di sini. Entahlah urusan apa lagi. Sheila tidak sepeduli itu—setelahnya terdengar tawa dalam benaknya.

"Terus ini kamu udah pesan taksi?"

"Hm."

"Kamu kelihatan pucat."

"Kurang tidur."

"Kamu masih di rumah yang lama?" Pertanyaan Rama mungkin cukup lancang, tapi sudah telanjur. Rama sebenarnya merasa tidak enak karena ekspresi Sheila langsung berubah. "Maksudku kamu udah pindah ke apartemen sendiri atau—"

Sheila mengedikkan bahu. "Taksiku udah datang. Duluan."

"Bentar, Yas."

Sheila urung membuka pintu taksi. Berdecak pelan saat lelaki itu berani memanggilnya dengan penggalan nama itu lagi.

Saat berbalik, Rama sudah di belakangnya dan mengulurkan ponsel padanya. "Aku minta nomor kamu."

Sheila belum menerima uluran ponsel itu. Dia justru melakukan hal yang sama. Membawa ponselnya ke hadapan Rama. "Aku aja yang catat nomor kamu."

"Apa bedanya?" Toh, meski sedikit keberatan, Rama tetap menuruti. Dia menyimpan ponselnya sendiri ke dalam saku celana dan menerima ponsel Sheila. Menyimpan nomor dengan cepat karena taksi sudah menunggu dan Sheila terlihat lelah.

Mengembalikan ponsel pada Sheila, "Nice to meet you around, Yas."

Tanpa membalas kalimat itu, Sheila membuka pintu penumpang dan masuk begitu saja. Mencoba tidak menoleh saat taksi mulai melaju. Namun, sudut matanya menangkap jelas jika lelaki itu masih berdiri di sana. Hatinya seperti menghitung mundur. Apakah dirinya akan menoleh atau tetap keras kepala menuruti logika sialan?

Saat taksi mencapai gerbang, Sheila tidak bisa menahan diri untuk tidak menoleh.

Dan lelaki itu masih tetap berdiri di tempatnya.

***

Pukul satu dini hari ketika dia tiba di kantor agensi setelah menjadi bintang tamu di acara talkshow—masih seputaran promo film terbarunya. Meski sudah larut, dia ingin pulang ke apartemen. Memilih menyetir sendiri. Jaraknya tidak terlalu jauh. Sambil dia menikmati suasana malam yang tenang dan lengang.

AFTERTASTE ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora