Chapter 20

12.1K 1.9K 65
                                    

Dengan langkah tergesa, Sheila meninggalkan peron. Satu telepon masuk beberapa menit sebelum keretanya berhenti. Bukan situasi yang genting, tapi dia ingin cepat meninggalkan stasiun. Beruntung dia mendapat taksi sebelum kena serobot orang di belakangnya.

Menyebutkan alamat dan meminta sang sopir untuk mengemudi lebih cepat. Sekali lagi, bukan sesuatu yang darurat, Sheila bisa duduk memesan kopi di kafe stasiun seperti yang dia inginkan sebelum panggilan itu datang. Dan satu hal melintas di kepalanya. Sesuatu yang beberapa hari ini luput dari perhatiannya.

Sheila berlari begitu turun dari taksi. Kafe di lantai satu rumah sakit itu tampak lengang. Mungkin karena jam sarapan sudah berlalu. Sheila duduk di bangku dekat jendela. Memesan secangkir kopi dan menunggu. Dia datang terlalu cepat dari waktu yang dijanjikan.

Bersamaan dengan kopinya yang diantar, Sandra akhirnya muncul. Sheila memesankan satu cangkir kopi lagi ke pelayan.

"Nggak usah, aku udah ngopi dua kali pagi ini."

"Teh mint?"

"Boleh."

Sheila mengangguk ke pelayan yang kemudian berlalu.

"Sori, bikin kamu nunggu." Sandra refleks melirik koper kecil di sisi kursi Sheila. "Kamu habis dari mana?"

"Surabaya."

"Sori. Karena mestinya kamu istirahat, malah aku ajak ketemu."

"Nggak apa-apa. Sekalian jalan pulang."

Sandra mengeluarkan satu kertas tebal dari tas. Meletakkannya di meja dan mendorongnya ke arah Sheila. "Undangan pernikahanku. Akhir bulan ini. Maaf sekali lagi, mestinya aku yang nyamperin kamu."

Bukan itu yang Sheila permasalahkan. Hanya saja dia tidak menyangka jika Sandra akan mengundangnya, setelah lima tahun mereka juga putus komunikasi.

"Kamu pasti bingung kenapa aku ngundang kamu." Sandra membaca dengan baik ekspresi yang tercetak di wajah Sheila. "Ya meski kita lima tahun ini nggak pernah komunikasi, dan baru aja ketemu, aku masih anggap kamu teman. Terlepas kamu mantannya Rama."

Sheila mengambil undangan itu dan menyimpannya ke dalam totebag. "Aku pasti datang."

Teh milik Sandra diantarkan, tanpa menunggu lama, Sandra menyesapnya. Dia tidak bisa duduk lama karena mesti naik ke ruangan Rama.

"Oh ya." Sandra meletakkan cangkirnya. "Berhubung kamu udah di sini, nggak mau sekalian jenguk Rama?"

Sheila yang juga sedang menyesap kopinya, tersedak. Sandra meringis melihatnya. Apakah perempuan ini tidak sadar kalau alamat yang dia tuju adalah rumah sakit tempat Rama dirawat? Sandra memang sengaja mengajak bertemu di kafe rumah sakit. Hanya saja dia takjub karena Sheila tidak sadar tempat yang ditujunya adalah tempat yang mungkin dia hindari.

Soal bertemu di kafe ini, iya, Sandra memang sengaja. Tapi sepertinya Sheila masih enggan bertemu Rama. Terbukti dari wajahnya yang menegang. Sandra maklum.

"Keadaan Rama gimana?"

Sandra mengedikkan bahu sambil menahan senyum. "Kamu bisa tanya sendiri."

Mencoba berkilah. "Aku, ehm, mesti ke suatu tempat."

Percuma memaksa. "Ya udah, aku duluan ya. Makasih udah mau ketemu, alih-alih aku yang nyamperin." Mengambil tasnya, Sandra tersenyum kemudian berdiri.

Sheila ikut berdiri, dengan gerakan yang terlalu cepat. "Tunggu!"

Sandra mengurungkan langkah. Dia berbalik, menatap Sheila bingung.

"Ada yang mau aku tanyain."

Tanpa disuruh, Sandra kembali duduk. Apa pun yang menyangkut Rama, dia selalu punya waktu. Tidak. Dia tidak perlu menunggu Sheila bicara, sudah jelas ini tentang Rama.

AFTERTASTE ✔Where stories live. Discover now