Extra 1: I'll Take You Home

16.9K 1.9K 139
                                    

Lagu di mulmed:

Banda Neira-I'll Take You Home

Ini tadinya chapter 30, yg kemudian karena panjang, akhirnya aku pecah jadi tiga bagian. Ini bagian yg pertama~


——————

Satu pesan masuk persis ketika Rama menerima ponsel dari Andra. Staf sedang membantu Rama melepas clip on. Rama membaca pesan sekilas, mengetik balasan dengan cepat dan menoleh ke Andra.

Andra mendadak panik melihat wajah serius Rama. "Kenapa, kenapa? Ada masalah?"

"Lo lihat kotak kecil kemarin? Gue taruh di mana ya?"

"Gue pindah ke laci dasbor. Takutnya nyelip ke mana terus ilang. Isinya penting kayaknya."

"Lo lihat isinya?"

Andra nyengir.

"Kunci?" Menadahkan tangan ke Andra. "Lo pulangnya nebeng di mobil Nadhira ya."

"Emang mau ke man-"

Begitu urusan clip on selesai, Rama melesat pergi. Nadhira juga hendak bertanya, tapi Rama telanjur meninggalkan ruangan.

***

Senja baru saja pulang. Langit jingga di barat sana sudah menggelap. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Gedung tinggi di sekitar terlihat cantik bermandikan cahaya. Dan suara kereta yang lewat selalu menyenangkan. Seperti menyelinap di antara bisingnya kehidupan. Memberi jeda untuk sejenak lari dari sesaknya hidup.

Belum lama Sheila duduk di bangku ini. Dia sudah memantapkan hati dan memilih tempat ini untuk bicara dengan Rama. Tenang dan jauh dari pusat ibu kota.

Sebelum dia menyetir ke tempat ini, dia mengirimkan pesan ke Rama. Tidak berharap jika akan dibalas cepat. Tapi balasan itu datang lebih cepat dari dugaannya. Lelaki itu bilang jika akan datang.

Dan yang lebih mengejutkan, lelaki itu juga datang lebih cepat. Napasnya terengah ketika tiba di tangga terakhir. Sheila tersenyum tipis, menyambutnya.

"Kamu mau aku pesankan cokelat hangat?"

Rama duduk, mengatur napas. Menggeleng. "Kita harus bicara dulu."

"Makasih kamu udah meluangkan waktu buat datang."

"Lain kali kamu nggak boleh gini ya."

Sheila tersenyum. Tidak ada lain kali. Ini yang terakhir. "Maaf karena hubungi kamu mendadak kayak gini."

"Nggak apa-apa. Aku kebetulan juga mau ketemu kamu. Tapi dari kemarin-"

"Kamu sibuk. Maaf kalau aku bakal buang waktu kamu selama beberapa menit ke depan."

Rama menghela napas. Dia sangat sadar kalau perempuan ini berusaha menciptakan jarak.

"Aku sudah memutuskan."

"Aku dengar apa yang kamu dan Baim bicarakan di atap beberapa waktu lalu." Rama juga tidak akan berbasa-basi. Sebelum perempuan ini bilang soal menyerah, mereka harus bicara dan meluruskan banyak hal.

Kedua tangan Sheila bergerak ke belakang leher, melepas kalung dan meletakkannya di tengah meja. Hatinya berat melakukan, tapi keputusan sudah dia buat. "Bagus kalau kamu sudah dengar. Aku nggak perlu mengatakannya lagi."

Rama terpaku pada kalung itu. Cincin pemberiannya yang selama ini disimpan dan dikenakan Sheila, akhirnya dikembalikan. Dia pernah membayangkan hal ini akan terjadi dan jujur dia tidak ingin melihatnya secara nyata. "Kamu sungguhan ingin melepas kita?"

"Andai kamu masih Rama yang dulu, belum dikenal banyak orang seperti sekarang, aku mungkin punya nyali untuk berdiri di samping kamu lagi." Dia benci mendapati dirinya berandai-andai seperti ini. Dia juga tidak ingin membandingkan diri dengan siapa pun, tapi keadaan justru menggiringnya ke sana. "Sekarang, setelah lihat Nadhira di samping kamu, aku merasa nggak pantas. Aku nggak pengin nyerah sekarang, Ram. Aku pengin berjuang lagi. Tapi semakin aku maju, aku semakin sadar, tempat itu sudah ditempati orang lain. Aku nggak tahu mesti gimana. Aku nggak punya apa-apa untuk bikin kamu balik. Semua sikap yang aku tunjukkan, kamu anggap hanya sebatas kasihan. Aku nggak tahu mesti gimana lagi supaya kamu percaya. Semakin hari, kita hanya saling menyakiti."

"Sudah cukup, Yas." Rama tidak menyangka jika Sheila akan langsung membuat pengakuan. Dia tidak tahu Sheila akan sefrutrasi sekarang. Dia sungguh tidak ingin melihat perempuan ini menangis dengan cara seperti ini.

"Iya, memang seharusnya sudah cukup. Kita nggak bisa ke mana-mana sekarang. Nggak ada yang tersisa." Sheila menunduk, menyembunyikan tangisnya, memahami kalimat itu menurut versinya. Menggigit bibir agar isaknya tidak terdengar. Tapi tidak dengan bahunya yang bergetar. Tangis tanpa suara itu menyakitkan untuk Rama.

Untuk sesaat, dia biarkan Sheila menangis. Setelah reda dan perempuan itu mengangkat wajah, Rama memulai dengan, "Aku punya utang janji sama kamu."

Percuma menyeka pipi yang sepenuhnya basah. Sheila kembali menunduk, menghindari tatapan Rama. Kepalanya tidak bisa mencerna maksud kalimat itu.

"Janji itu terselip di antara ingatan. Maaf karena baru mengingatnya sekarang."

Tetap menunduk dan bertanya sengau. "Janji apa?"

"Kamu ngomong sama lantai?" Tersenyum lembut. "Lihat ke aku. Jangan mengenang sendiri. Aku temani."

***



Senin/04.01.2021

AFTERTASTE ✔Where stories live. Discover now