Chapter 19

11.4K 1.8K 76
                                    

Hujan membungkus ibu kota sejak subuh hingga pagi ini. Sarapan sudah diantarkan tapi Rama belum ingin makan. Sandra atau Andra tidak memaksa dan membiarkan Rama menatap jendela lama-lama. Tidak menginterupsi.

Hari kelima dan Rama merasa jenuh. Dia akan memasang wajah ramah setiap ada yang datang menjenguk. Lalu setelah mereka pulang, Rama kembali melamun. Sepanjang malam juga terjaga, sampai Sandra berniat meminta perawat untuk menyuntikkan obat tidur diam-diam.

Pagi ini, Rama menemukan objek yang bisa dijadikan lamunan. Kaca yang basah membawakan banyak sekali kenangan. Dia tidak bisa sekadar memilah mana kenangan yang bahagia, mana yang sedih. Tapi di antaranya membayang wajah Mama.

Apakah Mama sedang duduk di taman sekarang? Sendirian? Apakah di sana juga hujan? Kalau iya, apakah ada yang bisa membujuk Mama untuk meninggalkan bangku taman? Bagaimana kalau tidak ada yang berhasil? Apakah salah satu perawat mau menemani duduk dan membawakan payung?

Rama sontak menoleh ke Andra. "Ndra, bisa telepon ke rumah sakit?"

"Ya?"

"Tanyain ke mereka, di sana hujan nggak."

Mengerti maksudnya, Andra mengangguk. Mengeluarkan ponsel dan menghubungi cepat. Rama menunggu.

Andra mengakhiri sambungan dan nyengir. "Cerah kok. Tenang aja. Nyokap lo lagi menikmati matahari pagi dengan tenang."

Kelegaan tersirat jelas. Sandra memperhatikan dalam diam.

"Ponsel gue kapan balik?"

"Ntar kalau lo udah boleh pulang, gue kasih."

"Sekarang aja nggak bisa?"

Andra mengarahkan bolamatanya ke Sandra. Rama mengerti maksudnya. Dia pun pura-pura membenarkan selimut, tertawa sumbang. "Iya, nanti aja. Lagi pula nggak ada yang nyariin juga."

***

"Mama cariin, tahunya kamu di sini."

Pesta pernikahan sederhana itu selesai sore tadi. Tenda putih di halaman sudah dibongkar. Sepanjang acara, Sheila berusaha bersikap normal demi Dipa yang selalu menatapnya cemas. Mungkin di mata Dipa, kakaknya ini akan menangis sesenggukkan atau lebih parah, mengacaukan acara penting Mama. Tidak, Dipa, kakakmu jauh lebih tegar dari yang kamu bayangkan.

Malam ini, Sheila memang sengaja menjauh dari keriuhan ruang tengah. Para sanak saudara masih berkumpul. Keramaian yang jelas-jelas bukan Sheila sekali. Dia sempat terjebak di sana, ditanyai banyak hal klise—satu di antaranya kapan nikah. Tapi berhasil melipir dan berakhir di ayunan kayu yang ada di halaman belakang. Lumayan jauh dari rumah utama.

Dia sudah duduk sekitar setengah jam di sini, membawa serta selembar foto. Dia pandangi selama di dalam kereta dan juga barusan. Bukan untuk memastikan tentang perasaannya. Dia hanya ingin kembali ke masa-masa itu. Saat hidupnya terasa baik-baik saja.

Mama menyusul, ikut duduk di ayunan itu. Melihat apa yang ada di tangan anak perempuannya. Meski temaram, dia tahu siapa yang ada di dalam foto itu.

"Makasih ya, kamu sudah mau datang."

"Aku datang waktu Papa menikah. Nggak adil kalau aku nggak datang di pernikahan Mama."

"Mama kira kamu marah."

Tanpa sadar, salah satu jemari Sheila mengusap foto. Dia sudah melampiaskan marah itu ke orang yang tidak seharusnya.

Mama kembali melihat foto di tangan Sheila. Menghela napas tertahan. "Kamu masih mencintai Rama?"

Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba. Sheila menggigit bibir bagian dalam. Memilih tidak menjawab.

"Kamu masih cinta ternyata."

AFTERTASTE ✔Where stories live. Discover now