Chapter 3

17.8K 2.3K 116
                                    

Dia datang lebih pagi dari kunjungan sebelumnya. Saat embun-embun masih menempel di permukaan daun dan kabut tipis mengambang di ibu kota. Sebelum perlahan puncak gedung pencakar langit diterpa hangat sinar matahari. Dinding-dinding kaca yang berkilau dan kesibukan pun dimulai.

Ini hanya kunjungan biasa. Tidak ada jadwal khusus karena dia akan datang sewaktu-waktu-kapan pun dia merasa rindu. Pernah suatu malam, sudah terlalu larut, dia berkunjung. Ketika raga lelah oleh jadwal yang mencekik, tapi dia ingin melihat sebatas punggung sebelum menutup mata. Akhirnya hanya bergeming di depan pintu, melihat dari kaca di pintu. Jemarinya mengusap permukaan kaca. Punggung itu nyatanya tetap sanggup menggenapi rindunya.

Hampir semua staf rumah sakit mengenal baik dirinya, jauh sebelum semuanya dalam genggaman. Jika kebetulan jadwalnya kosong, maka dia akan di sini. Tempat yang menjadi pelariannya sejenak dari dunia gemerlap miliknya. Lebih karena ada Mama di sini, yang selama ini menjadi poros hidupnya.

Koridor pagi ini tampak sepi. Gema musik menjawab kebingungan Rama. Dari halaman luas di samping gedung utama, hampir semua pasien beserta perawat sedang melakukan senam pagi. Beberapa yang melihat Rama, otomatis melambaikan tangan di sela gerakan senam. Dibalas dengan senyum super lebar. Bahkan ada yang berniat menarik Rama ke halaman agar ikut senam. Rama dengan gesit berkilah. Dia akan ikut tapi lain kali.

Melewati sepanjang teras, menuju halaman yang lain. Sementara musik mulai sayup di belakang sana dan Rama terpaku dengan pemandangan di depannya. Langkahnya menjadi terhenti.

Mama sudah duduk di sana, lengkap dengan syal yang melingkupi bahu-yang semakin hari semakin rapuh.

Rama masih berdiri di tempatnya. Hatinya sedang menimbang, apakah dia bisa mendekat atau tidak. Apakah suasana hati mamanya pagi ini cukup baik untuk menerima kunjungannya?

Memutus suara di pikiran, Rama melangkah ke sana. Gamang, dia akui. Penolakan yang tak terhitung dan juga-

"Bumi?"

Langkah Rama sontak memelan. Kembali meragu. Sebelum akhirnya dia berdiri persis di dekat kursi.

Mama mendengar langkah yang mendekat ke arahnya. Hatinya buncah. Senyum serta merta terbit di sudut bibir, perlahan mengembang sempurna. Wanita senja itu dengan sabar menunggu hingga sosok itu tiba di sebelahnya, sebelum dia mendongak, menyambut dengan hangat.

Namun, tidak dengan Rama yang membeku dengan senyum hangat Mama yang seharusnya menenteramkan. Tidak, karena untuk yang kesekian dia dikenali sebagai orang lain.

Satu tangan itu terulur padanya. Mengisyaratkan Rama agar mendekat. Mengesampingkan ego dan hati yang terluka, Rama menuruti.

"Bumi, pagi ini cerah ya. Mama suka langitnya."

Rama mengambil satu tangan mamanya, kemudian menangkupnya dengan kedua tangan. Terasa dingin. "Mama nggak tertarik ikut senam?"

Mama menoleh, meringis sambil mengedikkan bahu. "Berisik. Mama suka yang tenang-tenang."

"Tapi Mama jadi sendirian di sini."

"Ada kamu, Bumi."

Rama menunduk. Menatap tangan Mama dalam genggaman. "Ram-aku bisa datang ke sini setiap pagi, Ma."

"Jangan. Kamu sibuk. Tugas negara."

Sudut bibir Rama tersenyum, getir. "Aku bisa sempatkan datang barang lima menit buat duduk di sini sama Mama. Bahkan lebih. Aku bisa kasih berapa pun waktu yang Mama inginkan."

Tangan Mama yang lain bergerak ke wajah Rama. Mengusap cairan bening di sudut mata yang baru saja menetes-yang Rama sendiri tidak sadari.

"Lain kali, ajak adikmu juga ya. Mama kangen dia."

AFTERTASTE ✔Where stories live. Discover now