Chapter 18

11.2K 1.9K 56
                                    

Beberapa rekan artis baru saja meninggalkan ruangan Rama, itu pun kena tegur satpam. Sudah melebihi batas jam besuk dan pasien butuh istirahat. Andra pamit mandi, sejak sore dia sibuk meladeni tamu-tamu Rama. Sementara Sandra beranjak dari sofa, membereskan meja dan memindahkan bingkisan-bingkisan ke meja lain.

"Pulang gih, San."

Sandra mendongak. Rama memberi alasan. "Kamu kelihatan capek."

"Aku nggak ngerasa capek."

Mencari alasan lain. "Ada yang mau aku obrolin sama Andra."

Kegiatan membersihkan mejanya terjeda. "Mau ngomongin apa sih, harus ngusir aku segala. Kalian itu sama-sama jomlo, bikin resah aja."

Rama sudah kalah sebelum melawan, maka dia diam. Membiarkan Sandra melanjutkan pekerjaannya. Hingga kemudian perempuan itu duduk di kursi sebelahnya dan mengupas jeruk. Matanya menyipit curiga. "Mau ngomongin kerjaan pasti. Nggak boleh!"

"Ada kerjaan di Bali bulan depan. Mau ngomongin itu. Kalau aku belum pulih, mau minta reschedule. Syukur-syukur malah udah." Rama cari mati dengan berani membahas hal itu. Andra yang keluar dari kamar mandi pun langsung kena tatapan tajam Sandra.

Wajah Andra benar-benar clueless menerima tatapan itu. "Kenapa, kenapa? Gue salah apa?"

Mengembalikan jeruk ke meja, Sandra bersedekap. "Konsultasi sama dokter dulu. Pastikan bener-bener pulih sepenuhnya. Aku tahu kamu nggak masalahin duitnya, Ram, tapi perkara tanggungjawab. Mereka bakal ngertiin kondisi kamu. Nggak perlu memaksakan diri. Kamu yang bilang sendiri kalau nggak mau terlalu ngoyo ngejar karir. Waktunya istirahat, ya istirahat."

"Iya."

"Lo lebih cocok jadi manajernya dia, San." Andra menunjuk Rama dengan dagu dan mencibir. "Coba gue yang ngomong barusan, dia bakal kasih alasan A sampai Z buat maksain diri tetep syuting meski belum pulih. Kalau bisa, dia malah minta terbang ke sana lebih cepat. Mau menyatu dengan alam-lah. Mau nyocokin suhu-lah. Ngerasain sunrise-sunset di sana. Sepedaan. Nyicipin semua kulinernya. Adaaaa aja alasannya. Gue bahkan lupa kalau dia punya prinsip nggak mau ngoyo. Prakteknya jelas beda. Kayak nggak punya capek dia."

Sandra memicingkan mata. Rama menyerah bicara soal pekerjaan, apalagi di sana ada Sandra. Bisa-bisa dia akan kena omel sepanjang malam.

"Gimana persiapan nikahan kamu?" Belum mengantuk, jadi Rama melempar topik.

Sandra menumpukan satu siku di sisi ranjang. Menopang dagu. "Udah beres."

"Masih ambil job?"

"Nggak. Ngabisin kontrak aja."

Rama tiba-tiba tersenyum. "Pantes ya kamu jadi siaga 24 jam di sini."

"Aku nggak bisa percaya sama Andra soalnya."

Yang disebut namanya sengaja batuk-batuk.

"Nanti kalau udah nikah, kamu bakal masih gini ke aku?"

"Kalau iya, kenapa?"

"Aku takut dibunuh sama suami kamu."

Sandra menyeringai. "Aku berharap pas aku udah nikah, kamu juga nemu calon istri. Biar ada yang ngomelin kamu, mengingat Andra nggak kompeten di bagian itu. Aku siap uji kelayakan dia sebagai pendamping kamu. Perempuan mana pun, asal dia bisa terima semua kurangmu, tahu masa-masa sulitmu. Jangan yang mau senengnya aja."

Rama tertawa pelan.

"Ada kandidat lain selain mantan?"

Tawa itu lenyap. Sandra menatap lebih lekat. Mencari jawaban sendiri. Tangannya yang bebas menepuk-nepuk punggung tangan Rama yang tidak terpasang selang infus. "Kamu lelaki baik, Ram. Pasti ketemu juga sama perempuan yang baik."

AFTERTASTE ✔Where stories live. Discover now