Chapter 2

19.9K 2.4K 132
                                    

Sheila berdiri di depan gerobak batagor. Sementara Meira dan Bobby antre di stand bakso. Jam makan siang, semua bangku hampir penuh. Dua tower besar yang berdiri berdampingan seakan menumpahkan manusia-manusia lapar. Makan siang begini, selain untuk memenuhi hajat perut, juga bisa jadi ajang mencari jodoh.

Sambil menyelam, pipis.

Yang sering begitu adalah Meira. Tak terhitung berapa banyak kenalan dia dari perusahaan yang berbeda. Hanya dengan modus sepele; semua bangku penuh, Meira terpaksa nebeng di deretan para lelaki. Sekarang saja, mata sipitnya itu membulat maksimal, mencari mana bangku yang potensial—berisi Mas-mas rupawan.

Lain lagi dengan Sheila yang kalau semua bangku penuh, dia memilih nyempil di dekat gerobak. Biasanya ada satu-dua kursi plastik. Dia juga pernah duduk di dekat wajan besar dan kena sedikit cipratan minyak. Dan tidak kapok. Kadang, dia lebih senang mengobrol dengan ibu atau bapak penjual. Mendengar keluhan mereka soal harga bahan pokok yang naik. Sampai bercerita tentang anak-anak mereka. Sebagian besar adalah perantau. Meninggalkan anak-anak di kampung.

Seperti sekarang, sambil meniup potongan batagor yang masih panas, Sheila bertanya. "Bapak jadi mudik minggu depan?"

"Iya, Neng."

"Berapa hari, Pak?"

"Belum tahu, Neng. Kayaknya bakal sebulanan."

"Wah, saya bakal kangen sama batagornya Bapak nih. Mana besok weekend."

"Bisa aja Neng mah. Jajanan lain kan banyak."

Sheila kemudian membiarkan Pak Umar melayani pembeli. Dia juga mulai fokus makan. Setelah makan, dia masih punya tugas mencari keberadaan Bobby dan Meira yang pasti mencar entah di sudut yang mana.

Setelah batagor miliknya tandas, Sheila menaruh sendiri piring kotor di ember cucian piring, letaknya agak di belakang.

"Uang pas aja, Neng." Saat Sheila mengulurkan gulungan uang seratus ribuan.

"Nggak ada, Pak."

"Saya tuker dulu."

"Nggak usah, Pak. Kelamaan."

"Nggak. Cepet kok. Eh, ini kelebihan, Neng." Berniat mengembalikan tiga lembar.

Sheila menggeleng. "Buat tambah ongkos pulang, Pak. Cuma sedikit kok."

"Ya ampun, nggak usah, Neng. Ini ditabung bisa. Beneran. Saya—"

"Pak, cuma sedikit. Diterima ya."

Pak Umar tampak berkaca. Kemarin dia tidak sengaja bercerita kalau dompetnya dijambret di pasar. Hanya cerita biasa, tidak bermaksud minta dikasihani. Hebatnya, Sheila membuat uang itu bukan sekadar kasihan, tapi lebih berwujud sebagai rasa pertemanan.

Sheila beranjak dari gerobak batagor, setelah didoakan yang baik-baik. Matanya mengedar, melewati bangku-bangku. Menyerah. Dia mengeluarkan ponsel. Menelepon Meira.

"Di mana?"

"Arah jam dua. Noleh aja. Pasti kelihatan."

Masih dengan ponsel menempel di telinga, Sheila menoleh. Mendapati lambaian tangan yang heboh—tangan Bobby tepatnya, dan di sebelahnya Meira meletakkan ponsel sambil nyengir lebar. Tanpa prasangka apa-apa, Sheila melangkah ke sana. Mulutnya siap terbuka, hendak meminta kedua temannya bergegas. Tapi senyum lebar Meira membuatnya curiga.

Sheila berhenti persis di dekat sebuah punggung. Matanya perlahan melirik ke punggung di sisi kirinya. Sukses membuatnya membeku.

Jebakan apa ini?!

AFTERTASTE ✔Where stories live. Discover now