Chapter 12

13.1K 1.9K 74
                                    

On mulmed:

Raisa—Mantan Terindah

—————————

Sheila menguap untuk yang kesekian padahal belum ada sepuluh menit dia duduk di dalam tenda putih ini. Baim yang keluar semenit lalu, sudah kembali dengan membawa dua kaleng kopi instan dingin.

"Gue nemunya cuma kopi instan."

"Ah, makasih." Sheila menerima uluran satu kaleng.

"Begadang lagi?"

"Hm."

"Cari suami, Cel."

Seraya membuka tutup kaleng. "Nggak nyambung."

"Begadangnya biar lebih bermanfaat."

Sheila menoleh tajam.

"Lo mikir apaan?" Baim segera membela diri. "Gue mikirnya kalau lo punya suami, begadangnya bisa buat pillowtalk gitu. Atau apa kek, yang gabutnya bisa barengan."

"Lo pikir gue begadang karena gabut?" Sheila menyesap kopinya, sebelum melanjutkan. "Gue memang insom."

Baim belum selesai. "Kalau lo punya suami, ada yang meluk. Lo nggak bisa tidur, ada yang puk-puk. Kalau masih nggak bisa tidur juga, ada yang—"

Kalimat itu gagal diselesaikan karena Sheila melayangkan tabokan keras ke bahu Baim. Membuat lelaki itu mengaduh lebay. Rama dan Andra yang masuk pun menatap bingung.

"Asyik banget kayaknya. Ngobrolin apa?" Rama mendekat, bertanya antusias. Mendengar samar percakapan mereka dari luar tenda. Andra mencibir pelan di belakangnya.

Baim menunjuk Sheila. "Ini, Icel mau cari suami katanya."

Ekspresi di wajah Rama segera berubah. "Oh ya?"

Andra menyahut. "Emang udah ada calon?"

Baim tertawa. "Icel mah banyak yang naksir, tinggal tunjuk."

Rama fokus menatap Sheila, tanpa mengatakan apa-apa. Dia menunggu perempuan itu memberikan reaksi seperti bantahan atau apa. Tapi orangnya justru santai-santai saja sambil menyesap kopi instan—ngomong-ngomong jam berapa Sheila tidur semalam? Hingga membutuhkan kopi instan pagi ini.

"Kalian udah sarapan?" Rama sengaja menyela Andra yang sepertinya kepo masalah asmara Sheila—yang tidak digubris oleh yang bersangkutan.

"Udah kok. Udah."

Gue nggak nanya lo. "Udah sarapan, Cel?"

Meremas kaleng kopi yang sudah tandas, Sheila mengangguk pelan.

Apa susahnya sih menjawab dengan kata? Meski sekadar 'iya'.

"Kita take sambil jalan ke panggung ya. Buat opening. Rama cukup cerita seperlunya aja soal gimana bisa gabung ke yayasan kanker." Baim memberi arahan. "Gue sama Icel mulai duluan. Lo siap-siap begitu Icel sibak tenda."

Rama mengacungkan jempol.

Sheila sigap berdiri. Merapikan ujung kemejanya. Rama mengikuti setiap gesturnya. Meneliti ekspresi samar di wajah. Apakah di sana ada Sheila yang mulai luluh atau tidak. Hingga punggung Sheila hilang di balik pintu tenda, Rama tidak menemukan yang dia cari.

Ayolah, Ram, pelukan semalam tidak berarti apa-apa untuk Sheila.

Bahkan perempuan itu menegaskan sekali lagi soal batasan. Rama tidak boleh melewati garis itu. Dia dipaksa mundur. Tidak diberi kesempatan apa-apa.

Kalau saja Sheila mau mendengar penjelasannya, apakah kesalahannya dulu akan termaafkan?

***

AFTERTASTE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang