Chapter 5

15.6K 2.4K 111
                                    

Perasaan janggal di hatinya sedikit terlupakan? Omong kosong!

Sheila dengan tenang menyetir hingga parkiran apartemen. Lebih tepatnya dengan pikiran kosong. Dia bahkan sempat termenung setelah mematikan mesin mobil, alih-alih keluar dari sana. Wajah cemas Rama membayang begitu jelas. Sudah coba dia enyahkan, tapi sia-sia.

Mengambil ponsel di tas, Sheila melihat jam di layar. Pukul sembilan kurang. Jemarinya menggeser layar dan membuka Instagram. Dia secara refleks memasukkan nama lelaki itu dalam pencarian. Tidak sulit menemukannya. Memperhatikan sekilas. Tampak sama dengan Instagram selebriti pada umumnya. Dia lantas menggulir layar. Ada sekitar dua ratusan foto, mulai dari wisuda hingga yang terbaru.

Satu hal yang kemudian Sheila sadari, tidak ada lagi potret dirinya di sana. Bukan hal yang mengejutkan sebenarnya. Hanya saja dia baru tahu karena ini pertama kali dia membuka sosmed lelaki itu.

Namun, ada hal lain yang terasa berbeda dari foto yang Rama unggah. Sheila menggulir dari bawah. Potret keluarga yang lengkap—Om Rudi, Tante Tiana, Mas Bumi dan Rama. Yang seiring berjalan waktu, formasi itu perlahan berkurang. Jika unggahan lima tahun lalu masih lengkap, di tahun keempat hanya bertiga, lalu tahun ketiga ... hanya menyisakan Rama sendiri.

Apakah takdir juga ... Sheila menggeleng. Memasukkan ponsel ke dalam tas. Masih terlalu sore untuk pulang dan menemui kesepian di antara dinding apartemen. Maka, dia menyalakan kembali mesin mobilnya. Ada satu tempat yang tiba-tiba melintas di kepalanya. Satu tempat yang berhenti dia kunjungi selama lima tahun terakhir.

Tempat tujuan Sheila sedikit jauh dari pusat ibu kota. Jalanan malam yang tak pernah lengang. Manusia tidak pernah mengecewakan malam dan juga lampu-lampu sepanjang jalan. Dan dia ada di antara manusia-manusia itu. Dia tidak suka ketika harus menyetir pulang dan hanya menemui senyap. Sungguh kontradiktif. Dia suka ketenangan tapi juga benci merasa sendiri.

Dulu, ketika semua masih pada tempatnya, Sheila suka dengan keramaian. Mungkin, hidup sedang mengajarinya tentang kesunyian. Agar dia bisa bersyukur. Meski sudah terlambat untuk mensyukuri jika dia pernah memiliki keluarga yang hangat dan menyenangkan.

Namun, setidaknya dia masih memiliki kenangan indah akan keluarga, bukan?

Sheila tidak tahu apakah dengan mengenang, dirinya merasa lebih baik atau justru sebaliknya. Dia berkali-kali mengutuk keputusan orangtuanya untuk bercerai. Sheila sudah besar dan seharusnya mengerti jika ada sesuatu yang tidak bisa dipaksakan. Iya, dia memang harus memahami itu—seperti yang orangtuanya inginkan. Tapi ada saat-saat di mana dia gagal menerima.

Lantas pertanyaan besar memenuhi kepalanya.

Kenapa orang-orang yang dia sayangi pergi dari hidupnya? Rama, kemudian orangtuanya.

Dipa mungkin merasakan hal yang sama. Sheila berharap adiknya itu hidup dengan lebih baik dan bisa berpihak ke salah satu. Akan lebih baik jika begitu. Setidaknya Dipa akan memiliki salah satu.

Mobilnya berhenti di lampu merah terakhir. Dia tidak tahu apakah tempat itu masih di sana atau mungkin sudah pindah. Dia tidak berharap banyak. Ini sama sekali tidak terencana. Hanya dorongan impulsif. Dia juga setengah heran. Untuk apa dia jauh-jauh ke sini.

Ketika mobilnya merapat ke gedung itu, dia sempat takjub. Bangunan dua lantai itu masih berdiri kukuh. Catnya bahkan masih sama. Biru laut. Sheila mematikan mesin dan keluar dari mobil. Membuka pintu kaca yang bahkan masih terasa sama seperti lima tahun lalu.

Lonceng berdenting saat Sheila mendorong pintu. Pandangannya mengedar. Memindai tiap sudut yang tetap sama. Bangunan kafe ini tidak berubah sedikit pun. Sama halnya dengan Ibu-ibu pemilik yang setia duduk di kursi kasir dengan kacamata baca dan sebuah buku. Menekuri dengan takzim.

AFTERTASTE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang