Chapter 16

12.6K 2K 130
                                    

2400+ kata. Selamat membaca! 😚

———————
           

Alarm di jam weker berbunyi untuk yang kesekian. Setelah beberapa kali menutup kepala dengan bantal dan berganti posisi, Sheila akhirnya bangun. Semalam dia bisa terlelap dengan bantuan obat tidur. Jika tidak, maka sepanjang malam dia hanya akan menyalahkan semua orang lalu diri sendiri. Sheila tidak mau berlarut memikirkan banyak hal yang ternyata berjalan di luar kendalinya.

Melepaskan diri dari gulungan selimut, Sheila menyeret tubuhnya keluar dari kamar. Membiarkan rambut panjangnya yang sedikit berantakan tergerai karena dia lupa menaruh kuncir di mana. Seraya menyibak rambut bagian depan, Sheila mengambil air mineral di kulkas.

Ketika menenggak air, sudut matanya menangkap kabut tipis yang terlihat di celah pintu balkon yang tidak tertutup gorden. Lalu matanya mencari jam dinding. Pukul setengah tujuh. Cuaca yang cukup menyenangkan di Sabtu pagi kalau saja hati Sheila tidak berkecamuk.

Meninggalkan dapur, Sheila berpindah ke balkon. Kabut tipis mengambang lebih jelas. Dia berhenti satu langkah dari pembatas dan bersedekap. Memeluk diri sendiri sedikit lebih erat saat dingin mulai terasa. Kabut tipis itu sukses membuat benaknya memutar banyak kenangan. Dingin pun lebih menggigit saat rintik semakin membesar. Tapi dia tidak ingin beranjak sekarang.

Wajah terluka Rama membayang jelas di antara kabut dan rintik. Sheila tahu telah menyakitinya. Semalam, dia bisa saja mengejar dan menuntut penjelasan agar hatinya memaafkan dan berhenti membenci. Manusia mudah membuat kesalahan, Rama pun demikian. Tapi tidak, yang dia lakukan hanya terpaku di tempat. Merasakan retak menjalar di hati dan logika dengan angkuh menahannya untuk tidak mengejar lelaki itu.

Apakah keputusannya sudah benar? Apakah memang tidak ada kesempatan yang bisa dia berikan kepada Rama, sedikit saja? Kenapa setitik rasa yang tersisa tidak sanggup untuk menghalau benci? Kenapa dia harus mendorong pergi seseorang yang dia butuhkan ada di hidupnya? Kenapa—

Sheila menyeringai pias tiba-tiba. Menyadari hati kecilnya mengejek keputusannya dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

***

Seperti yang sudah Rama duga, dia akan menemukan Mama di taman rumah sakit. Dia sengaja datang pagi-pagi sekali, lebih tepatnya setelah dia tidak bisa memejamkan mata sepanjang malam. Dia gagal membujuk hatinya yang terluka dan kecewa. Maka begitu pagi tiba, Mama adalah orang pertama yang ingin dia temui.

Dia ingin mengadu. Entah akan didengarkan atau tidak.

Mama tampak serius menatap embun-embun di pucuk dedaunan ketika Rama mendekat dan duduk. Mulutnya sudah terbuka, berniat membuka percakapan, tapi terhenti. Alih-alih mulai bicara, dia justru menatap separuh wajah Mama dan jatuh pada indah setiap gurat yang tercipta di wajah renta itu. Tatapan hangat yang menua. Rambut yang mulai memutih. Tangan lembut yang entah sekarang seperti apa rasanya.

"Mama." Rama akhirnya menginterupsi lamunan Mama.

Mama tidak menoleh, tapi sudut bibirnya terangkat. Dia tahu jika anak lelakinya baru saja datang. "Sendirian? Sekar tidak datang bersamamu?"

Rama mulai terbiasa dengan pertanyaan serupa. "Iya, sendirian, Ma."

"Kapan kalian akan menikah? Jangan biarkan Sekar menunggu terlalu lama. Dia yang terbaik untuk kamu, Bumi."

Beruntung rintik yang turun mengambil alih. Rama tidak harus menjawab pertanyaan itu. Dia berkata lembut, membujuk pelan. "Hujan, Ma. Yuk, masuk."

"Mama masih ingin di sini, Bumi."

AFTERTASTE ✔Where stories live. Discover now