Chapter 4

16K 2.1K 88
                                    


"Pagi, Cel." Ada langkah yang mendahului Sheila saat menaiki undakan teras gedung SecondLook.

Sheila berhenti, sedikit mendongak, mendapati Baim sudah berdiri di dua anak tangga di depannya. Menatap sambil cemberut.

"Gue kirim draf pertanyaannya setelah gue sampai meja ya." Baim mengulurkan cup kopi.

"Thanks." Melewati bahu Baim, mengambil cup kopi dan berjalan lebih dulu. "Gue mau kalau bukan Rama yang dateng."

Baim menyamakan langkah. "Kenapa sama Rama? Orangnya baik kok. Jauh dari kesan sombong."

Sepertinya Sheila kelepasan mengeluh. Tapi untungnya Baim bukan tipikal ibu-ibu gosip. "Ini yang terakhir, 'kan?"

Baim nyengir lebar. Menepuk lengan Sheila dan melesat lebih dulu. "Gue duluan. Ada laporan yang mesti gue kirim. Lo pantengin email ya."

Sheila hanya mengacungkan ibu jari. Usahanya menolak gagal. Dan dia siap dengan atmosfer muram saat tiba di kubikel. Meira terang-terangan menekuk wajah. Sementara Bobby sibuk memelototi layar. Tapi Sheila tidak perlu cemas, Meira tidak betah lama-lama mendiamkannya.

***

Mobil yang membawa Rama baru saja merapat di halaman gedung radio. Yang kemudian dalam sekian detik langsung dikelilingi oleh fans. Rama sempat takjub. Dia tidak mengira jika dirinya akan disambut seperti ini. Maksudnya, ini masih terlalu pagi. Mereka sudah di sini sejak jam berapa?

Andra mengerti maksud Rama saat menoleh padanya. "Acaranya jam delapan. Kita punya waktu setengah jam. Lo boleh sapa mereka dulu. Sepuluh menit."

"Oke." Rama menggeser pintu mobil di sisinya. Tanpa mengenakan topi atau masker.

Para fans yang terdiri dari kaum perempuan itu sontak menjerit histeris. Salah tingkah. Bahkan, ada yang berani maju untuk memeluk Rama. Awalnya dia tidak terbiasa dengan kelakuan fans yang begini. Tapi lama-lama dia terbiasa.

"Duduk di lobi aja ya." Rama berusaha melangkah dibayangi oleh Andra. Jaga-jaga saja kalau Rama kena cakar atau cubit sampai memerah. Pernah kejadian soalnya.

Acara promo itu mendadak jadi acara jumpa fans. Rama dengan sabar menandatangani satu per satu yang disodorkan padanya. Entah itu buku, kaus, topi, poster, dan banyak lagi. Yang jelas semua kebagian. Dan diakhiri dengan foto bersama. Andra yang memfotokan karena waktu sudah mepet. Mengabaikan mereka yang protes ingin foto berdua saja dengan Rama. Andra menolaknya dengan tegas.

"Ada yang dari Surabaya, Ndra." Ketika lift menutup dan Rama berhenti melambaikan tangan.

"Mau lo anter pulang?"

"Kagaklah. Tapi dia niat banget jauh-jauh ke sini demi—"

"Siapa tahu kuliahnya di Depok."

Rama manggut-manggut. "Bener juga."

Menggulir ponsel. "Metha baru sampe di parkiran. Dia naksir lo deh, Ram. Cinlok."

"Kok susunan kalimat lo aneh?"

"Sekali napas bisa bahas dua topik."

"Gue nggak naksir."

"Tipe lo kayak Adel, jelas Metha ada di level yang beda."

Rama menggeleng heran. Mantan selalu diungkit. "Lo tertarik sama mantan-mantan gue, Ndra?"

Lift terbuka di lantai sepuluh. Andra menjawab. "Emang boleh gue deketin Sheila?"

Rama memilih diam dan menyambut sapaan sang penyiar radio saat pintu ruangan terbuka.

***

AFTERTASTE ✔जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें