18. Kenyataan Terburuk

399 66 5
                                    

Sambungan telpon dari Dava kepada Elisa tersambung saat itu. Namun, Elisa bingung saat tak ada suara apa pun yang menyahut dari seberang, sampai kemudian dia mendengar sayup-sayup suara Alvin.

"Haus ..."

Jantung Elisa seolah berhenti berdetak saat mendengarnya. Lalu tanpa basa-basi dia segera bergegas keluar dari ruangan istirahatnya, meninggalkan pekerjaannya, dan segera pergi dari rumah sakit. Mengendarai mobilnya cepat seperti tengah kesetanan.

Tak mungkin Rey sudah tahu, kan?

Tak mungkin.

Ini tak mungkin.

Elisa panik luar biasa. Ia bahkan sampai tersegal seperti orang kehabisan napas saking paniknya. Dengan tangan bergetar dia mengambil ponsel dan menghubungi Dava. Berharap anak sambungnya itu baik-baik saja.

"Halo?"

Elisa menghela napas, sedikit lebih lega. "Dava ... kamu gapapa, kan?"

"Aku ... gapapa."

"Kalau Rey?"

"Kalau soal Rey ..."

"Kenapa? Rey kenapa?" Elisa mendesak.

"Aku gak tau, tapi tadi Rey agak ... aneh." Elisa menahan napas lagi. Ia kembali menambah kecepatan, sementara telinga fokus mendengarkan suara Dava. "Dia kelihatan sakit."

"Sakit? Apa dia juga bilang sesuatu?"

"Dia bilang dia haus dan kemudian suruh aku pergi dari rumah ini?"

Elisa tertegun. Tidak salah lagi, Alvin memang sudah tahu. Ia menelan ludah, berkata dengan suara serak. "Sekarang Rey ada di rumah kan?"

"Enggak, dia langsung pergi gitu aja setelah ngusir aku." Dava berdecak di tempatnya. Sama pusingnya seperti Elisa. "Mama pasti tahu sesuatu, kan? Rey kenapa? Ada apa sama dia?"

"Dava nanti saja kita--"

"Aku tunggu penjelasannya dan tolong ... jangan bohongin aku lagi." Dava menyela ucapan Elisa. Sebelum kemudian mematikan sambungan telepon mereka. Elisa menghela napas untuk menenangkan diri sebelum akhirnya menancapkan gas lagi.

Jika Alvin keluar rumah, kira-kira ke mana tujuannya?


***

Pemuda itu melepas helmnya setelah berhenti di depan gerbang sebuah rumah dua lantai bergaya klasik kuno yang cukup besar itu. Ia turun dari sana, sejenak melihat ke arah jendela lantai atas yang terbuka di sana. Barulah kemudian menekan bel yang di pasang diluar pilar gerbang beberapa kali, sampai kemudian seorang pemuda membuka gerbangnya.

"Siapa?"

"Halo, Kak. Saya Dani, temannya Alvin."

Dava mengangguk-angguk. Dia mengenali wajah itu, beberapa kali dia pernah melihat pemuda itu bersama Alvin di sekolah. Meski dia baru tahu namanya sekarang.

"Ada apa ya?"

"Kakak ini kakaknya Alvin, kan?" Dibanding menjawab pertanyaan Dava, Dani malah bertanya balik. "Walau Alvin gak pernah cerita, tapi saya pernah lihat kalian berdua di sekolah. Jadi saya cuma penasaran aja."

DARKSIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang