23. Serangan

370 71 16
                                    

Dugh!

Satu pukulan keras mendorong lawan sampai menubruk tembok. Bangunan kosong terbengkalai itu seketika menjadi arena pertarungan.

Iris mata Elisa berkilat merah. Lawan pertarungannya bangkit memasang kuda-kuda baru, sembari menyeringai kepada Elisa seolah mengatakan jika barusan dia masih pemanasan.

Kepalan tangan Elisa semakin dia eratkan. Kuda-kuda dia kokohkan, bersiap untuk menerima serangan. Pria itu akhirnya berlari mendekat, dalam waktu seperkian detik dia sudah berada di hadapannya, melayangkan tinju yang untungnya bisa Elisa hindari.

Pertarungan sengit tak terelakkan. Pria itu benar-benar sudah mengisi energinya, kali ini Elisa dibuat kewalahan.

"Menyerah saja Elisa." Pria itu berucap dengan tangan yang terus meninju dan tubuh berkelit menghindari serangan Elisa. "Serahkan saja anakmu itu."

Dugh!!!

Elisa menendang dada pria itu kuat. Sebuah gerakan yang tak bisa ditebak sehingga membuat pria itu termundur beberapa meter.

"Bermimpilah! Aku tak akan membiarkan siapa pun mendekatinya."

"Termasuk si anak utusan? Kamu yakin bisa mengalahkannya?"

"Dia hanya mitos."

Pria itu tertawa. "Mitos itu muncul karena ada orang yang pernah melihat atau mengalaminya. Kita juga mitos bagi para manusia biasa, kan? Tapi nyatanya, kita memang ada dan bahkan berdampingan dengan mereka. Mereka saja yang terlalu bodoh untuk menyadarinya."

Elisa menelan ludah. Itu memang benar. Dan kalau boleh jujur, sebenarnya Elisa juga mempercayai mitos tersebut. Karena itulah Elisa selalu waspada selama ini.

"Apa pun itu, aku tak akan membiarkannya melukai putraku."

"Bodoh." Pria itu bergerak kembali. Jauh lebih cepat, sampai Elisa tak menyadari pergerakannya. Tiba-tiba saja orang itu sudah berada di sampingnya, melayangkan satu pukulan di saat Elisa lengah, membuat wanita itu terpental menubruk tiang bangunan. "Semua usahamu ini sia-sia. Pada ujungnya anakmu akan tetap mati."

Orang itu mendekat perlahan. Elisa tertunduk di tempatnya, berusaha mengatur napasnya.

"Oh, atau mungkin sebenarnya kamu juga ingin keabadian itu juga, dan berniat menyimpannya sendiri?" Orang itu menyeringai, terkekeh hambar. "Kalau itu yang kamu mau, kita bisa bagi dua. Bagaimana-"

"Brengsek!"

Elisa tiba-tiba bangkit dan langsung mencekik leher pria itu, mendorongnya kuat menubruk tembok. Iris mata Elisa berubah merah sepenuhnya. Cekikannya semakin kuat sampai bisa membuat tubuh pria itu terangkat.

"Jangan samakan aku dengan makhluk tamak seperti kalian. Aku tak butuh keabadian apa pun."

Dengan napas tersendat pria itu berusaha bicara. "Kalau begitu ... kamu akan mati sia-sia."

JLEB!

Dengan gerakan tak terduga pria itu menusukkan belati ke perut Elisa. Cekikkan Elisa mengendur, pria tersebut kini bisa dengan mudah balik menyerangnya.

Dugh!

Satu tendangan mengenai dada Elisa, membuatnya jatuh bersimpuh. Sementara pria itu langsung berdiri kokoh meski dengan napas terengah.

Tusukan belati itu tak terlalu dalam. Seharusnya dalam waktu lima menit lukanya bisa beregenerasi kembali. Namun, pria itu tak akan memberi Elisa waktu untuk menyembuhkan diri dan dengan kejamnya dia kembali menyerang.

Menendang. Menjambak. Meninju. Kemudian menusukkan kembali belati itu di kedua bahu Elisa. Darah bercucuran membasahi lengan kaosnya, menetes ke lantai dan membuat genangan kecil di sana.

DARKSIDEWhere stories live. Discover now